Yang Dimaksud Pengertian Dasar Pertimbangan Hakim
Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan...
https://tutorialcarapintar.blogspot.com/2019/02/yang-dimaksud-pengertian-dasar.html
Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu perjuangan untuk mencapai kepastian aturan dengan penegakan aturan secara tegas yaitu melalui kekuasaan kehakiman, di mana hakim merupakan pegawapemerintah penegak aturan yang melalui putusannya sanggup menjadi tolok ukur tercapainya suatu kepastian hukum.
Pokok Kekuasaan Kehakiman diatur dalam UUD 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009. UUD 1945 menjamin adanya suatu Kekuasaan Kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) dan klarifikasi Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu
Kekuasaan Kehakiman yaitu kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan aturan dan keadilan berdasarkan pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak alasannya yaitu kiprah hakim yaitu untuk menegakkan aturan dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian pada Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa: Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan tubuh peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata perjuangan Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Menurut Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul “Hukum Acara Pidana Indonesia”, hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Hal ini menjadi ciri suatu Negara hukum.
Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak (impartial judge) Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009. Istilah tidak memihak disini haruslah diartikan tidak harfiah, alasannya yaitu dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak pada yang benar. Dalam hal ini hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tepatnya perumusan UU No.48 tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan mengadili berdasarkan aturan dengan tidak membeda-bedakan orang”.
Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan aturan dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memperlihatkan suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu perihal kebenaran kejadian yang diajukan kepadanya kemudian memberi evaluasi terhadap kejadian tersebut dan menghubungkannya dengan aturan yang berlaku. Setelah itu hakim gres sanggup menjatuhkan putusan terhadap kejadian tersebut.
Kehidupan masyarakat ketika ini yang semakin komplek dituntut adanya penegakan aturan dan keadilan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Untuk figur seorang hakim sangat memilih melalui putusan-putusannya alasannya yaitu pada hakekatnya hakimlah yang menjalankan kekuasaan aturan peradilan demi terselenggaranya fungsi peradilan itu.
Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga ia dihentikan menolak menilik dan mengadili suatu kejadian yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No.35 Tahun 1999 jo.UU No.48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan dihentikan menolak untuk menilik dan mengadili suatu kasus yang diajukan dengan dalih bahwa aturan tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk menilik dan mengadilinya.
Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para andal aturan populer (doktrin). Menurut pendapat Wirjono Projodikoro dalam menemukan aturan tidak berarti bahwa seorang hakim membuat hukum, berdasarkan ia seorang hakim hanya merumuskan hukum.
Hakim dalam memperlihatkan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai aturan yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No.40 Tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai aturan yang hidup dalam masyarakat”.
Hakim oleh alasannya yaitu itu dalam memperlihatkan putusan harus berdasar penafsiran aturan yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat, juga faktor lain yang mempengaruhi ibarat faktor budaya, sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain. Dengan demikian seorang hakim dalam memperlihatkan putusan dalam kasus yang sama sanggup berbeda alasannya yaitu antara hakim yang satu dengan yang lainnya memiliki cara pandang serta dasar pertimbangan yang berbeda pula. Dalam kepercayaan aturan pidana tolong-menolong ada yang sanggup dijadikan ajaran sementara waktu sebelum kitab undang-undang hukum pidana Nasional diberlakukan. Pedoman tersebut dalam konsep kitab undang-undang hukum pidana gres Pasal 55 ayat (1), yaitu:
a. Kesalahan pembuat tindak pidana;
b. Motif dan tujuan melaksanakan tindak pidana;
c. Sikap batin pembuat tindak pidana;
d. Apakah tindak pidana dilakukan berencana;
e. Cara melaksanakan tindak pidana;
f. Sikap dan tindakan pembuat setelah melaksanakan tindak pidana;
g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana;
h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. Pemaafan dari korban atau keluarganya;
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Seorang pelaku tindak pidana dapat tidaknya dijatuhi pidana maka perbuatan pelaku harus mengandung unsur kesalahan, hal ini berdasarkan asas kesalahan Geen Straf Zonder Schuld (tiada suatu perbuatan yang sanggup dieksekusi tanpa ada kesalahan). Berdasarkan hal tersebut, dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku hakim harus melihat kepada kesalahan yang dilakukan oleh pelaku sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Selain itu dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaku hakim juga melihat kepada motif, tujuan, cara perbuatan dilakukan dan dalam hal apa perbuatan itu dilakukan (perbuatan itu direncanakan).
Konsep kitab undang-undang hukum pidana gres yang didasarkan pada Pasal 55 menyatakan bahwa hakim dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaku selain melihat dan mempertimbangkan kepada aspek lain yakni melihat aspek akibat, korban dan juga keluarga korban. Hal ini merupakan konsep gres yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana, alasannya yaitu perbuatan yang dilakukan selain berdampak kepada pelaku, hal ini juga berakibat kepada korban dan juga keluarga korban.
Pokok Kekuasaan Kehakiman diatur dalam UUD 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009. UUD 1945 menjamin adanya suatu Kekuasaan Kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) dan klarifikasi Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu
Kekuasaan Kehakiman yaitu kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan aturan dan keadilan berdasarkan pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak alasannya yaitu kiprah hakim yaitu untuk menegakkan aturan dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian pada Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa: Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan tubuh peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata perjuangan Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Menurut Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul “Hukum Acara Pidana Indonesia”, hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Hal ini menjadi ciri suatu Negara hukum.
Hakim |
Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan aturan dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memperlihatkan suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu perihal kebenaran kejadian yang diajukan kepadanya kemudian memberi evaluasi terhadap kejadian tersebut dan menghubungkannya dengan aturan yang berlaku. Setelah itu hakim gres sanggup menjatuhkan putusan terhadap kejadian tersebut.
Kehidupan masyarakat ketika ini yang semakin komplek dituntut adanya penegakan aturan dan keadilan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Untuk figur seorang hakim sangat memilih melalui putusan-putusannya alasannya yaitu pada hakekatnya hakimlah yang menjalankan kekuasaan aturan peradilan demi terselenggaranya fungsi peradilan itu.
Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga ia dihentikan menolak menilik dan mengadili suatu kejadian yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No.35 Tahun 1999 jo.UU No.48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan dihentikan menolak untuk menilik dan mengadili suatu kasus yang diajukan dengan dalih bahwa aturan tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk menilik dan mengadilinya.
Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para andal aturan populer (doktrin). Menurut pendapat Wirjono Projodikoro dalam menemukan aturan tidak berarti bahwa seorang hakim membuat hukum, berdasarkan ia seorang hakim hanya merumuskan hukum.
Hakim dalam memperlihatkan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai aturan yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No.40 Tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai aturan yang hidup dalam masyarakat”.
Hakim oleh alasannya yaitu itu dalam memperlihatkan putusan harus berdasar penafsiran aturan yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat, juga faktor lain yang mempengaruhi ibarat faktor budaya, sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain. Dengan demikian seorang hakim dalam memperlihatkan putusan dalam kasus yang sama sanggup berbeda alasannya yaitu antara hakim yang satu dengan yang lainnya memiliki cara pandang serta dasar pertimbangan yang berbeda pula. Dalam kepercayaan aturan pidana tolong-menolong ada yang sanggup dijadikan ajaran sementara waktu sebelum kitab undang-undang hukum pidana Nasional diberlakukan. Pedoman tersebut dalam konsep kitab undang-undang hukum pidana gres Pasal 55 ayat (1), yaitu:
a. Kesalahan pembuat tindak pidana;
b. Motif dan tujuan melaksanakan tindak pidana;
c. Sikap batin pembuat tindak pidana;
d. Apakah tindak pidana dilakukan berencana;
e. Cara melaksanakan tindak pidana;
f. Sikap dan tindakan pembuat setelah melaksanakan tindak pidana;
g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana;
h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. Pemaafan dari korban atau keluarganya;
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Seorang pelaku tindak pidana dapat tidaknya dijatuhi pidana maka perbuatan pelaku harus mengandung unsur kesalahan, hal ini berdasarkan asas kesalahan Geen Straf Zonder Schuld (tiada suatu perbuatan yang sanggup dieksekusi tanpa ada kesalahan). Berdasarkan hal tersebut, dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku hakim harus melihat kepada kesalahan yang dilakukan oleh pelaku sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Selain itu dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaku hakim juga melihat kepada motif, tujuan, cara perbuatan dilakukan dan dalam hal apa perbuatan itu dilakukan (perbuatan itu direncanakan).
Konsep kitab undang-undang hukum pidana gres yang didasarkan pada Pasal 55 menyatakan bahwa hakim dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaku selain melihat dan mempertimbangkan kepada aspek lain yakni melihat aspek akibat, korban dan juga keluarga korban. Hal ini merupakan konsep gres yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana, alasannya yaitu perbuatan yang dilakukan selain berdampak kepada pelaku, hal ini juga berakibat kepada korban dan juga keluarga korban.