Yang Dimaksud Pengertian Keberagamaan
Pengertian Keberagamaan - Istilah “beragama” menyerupai disebut Lukman Ali dalam kamus bahasa Indonesia, mempunyai arti menganut (memeluk ag...
https://tutorialcarapintar.blogspot.com/2019/02/yang-dimaksud-pengertian-keberagamaan.html
Pengertian Keberagamaan - Istilah “beragama” menyerupai disebut Lukman Ali dalam kamus bahasa Indonesia, mempunyai arti menganut (memeluk agama) taat kepada agama, beribadah. Pengertian “keagamaan” yaitu ialah “ yang bekerjasama dengan agama”. Sedangkan “keberagamaan” sendiri merupakan prilaku-prilaku beragama ataupun perwujudan atas keyakinan yang dimiliki seseorang.
Keberagamaan dalam ruang publik sosial setidaknya didasari pengindraan kecerdikan insan terhadap kenyataan. Hal semacam itu merupakan satu kesatuan system kehidupan, yang dibekalkan Tuhan kepada manusia, berupa cipta, rasa, karsa, yang bermuara pada akal. Pada dikala semuanya memainkan fungsi dan memegang otoritasnya masing-masing, terwujudlah suatu kebudayaan dalam kenyataan.
Secara etimologi religius berasal dari kata reli-religious yang artinya hal yang bekerjasama dengan agama dan secara terminologi religius ialah segala sesuatu yang bekerjasama dengan agama menyerupai daerah ibadah, kitab-kitab suci dan ritual keagamaan. Beda lagi berdasarkan Zaenal Arifin Abbas secara etimologi religius berasal dari bahasa Latin yaitu religio, sedangkan secara terminologi religius ialah suatu ikatan lengkap untuk mengikat insan dengan pekerjaan-pekerjaannya sebagai ikatan wajib dan sedangkan agama berdasarkan bahasa artinya untuk mengikat insan kepada Tuhan-nya. Agama (religion) dan pengalaman religius (religions exsperience) ialah dua istilah kunci karya James, namun apa yang dimaksud agama oleh James berbeda dengan pengertian umum. Karena James sendiri tidak begitu suka dengan istilah atau rumusan-rumusan agama yang terlalu institusional, formal dan kaku.
Tylor menyampaikan agama sebagai “kepercayaan terhadap hal-hal yang spiritual”. Agama lahir dari para “filosof primitif” untuk mengerti dan memahami pengalaman-pengalaman mental mereka. Sedangkan Geertz menyampaikan agama ialah sistim simbol yang gunanya membentuk mooddan motivasi-motivasi yang begitukuat, melingkupi dan bertahan usang dalam diri insan dengan memformulasikan konsepsi-konsepsi tatanan umum keberadaan dan menyelubungi konsep-konsep tersebut dengan semacam aura faktualitas sehingga mood dan motivasi-motivasi secara unik sanggup ditangkap sebagai suatu yang realitas. Agama ialah jawaban-jawaban menyeluruh terhadap pertanyaan-pertanyaan inti eksistensial yang selalu dihadapi umat manusia, pengkodifikasian jawaban-jawaban ini ke dalam bentuk-bentuk kredo menjadi sangat signifikan bagi para penganutnya, ritual dan upacara-upacaranya memperlihatkan ikatan emosional bagi setiap individu yang melaksanakannya, pembentukan badan institusional membawa mereka yang sama-sama menganut kredo dan melakukan ritus dan upacara tersebut ke dalam kongregasi, dan yang tak kalah pentingnya badan institusi bisa melanggengkan ritus-ritus tersebutdari generasi kegenerasi.
Keberagamaan, berdasarkan JalaluddinRahmat yaitu sikap yang bersumber eksklusif atau tidak eksklusif kepada Nash. Dari definisi keberagamaan tersebut, maksudnya ialah referensi sikap seseorang yang berusaha menuju kepada referensi kehidupan yang sesuai dengan tuntunan aliran Islam.
Untuk menjelaskan makna keberagamaan sebagaimana yang menjadi fokus penelitian ini, maka perlu kiranya dimulai dengan mencari akar dari kata yang membentuknya. Dalam hal ini, keberagamaan berasal dari kata dasar “agama” yang berarti sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan aliran kebaktian dan kewajiban-kewajiaban yang bertahan dengan kepercayaannya itu. Pengertian agama sanggup dilihat dari sisi etimologi bahwa istilah agama berasal dari kata: “a” yang berarti “tidak” dan “agama” yang berarti “kacau”. Agama dengan demikian berarti hukum atau tatanan untuk mencegah kekacauan dalam kehidupan manusia, atau dalam bahasa Inggris disebut “religion”, yang berakar pada bahasa Latin “religio” yang berarti “mengikat erat”. Dalam Islam terdapat istilah “din” yang bisa juga diterjemahkan sebagai agama yakni meliputi keberhutangan, ketundukan, kekuatan yang menghadiri dan kecenderungan alami.
Istilah atau konsep “keberagamaan” sudah secara luas digunakan dalam wacana keseharian, namun tidak demikian halnya di dalam wacana studi. Di dalam wacana studi, konsep “keberagamaan” atau religiou city, merupakan konsep yang bersifat complicatedatau rumit. Kerumitan itu secara substantif tercermin pada apakah keberagamaan itu hanya berkaitan dengan kualitas responsi umat sesuatu agama terhadap sistem aliran agamanya yang tercermin pada banyak sekali dimensinya. Apabila ya, apakah mungkin seseorang sanggup mengetahui jati diri dari sesuatu agama secara utuh dan sempurna? Mengingat bahwa dilema keberagamaan tidak hanya menyangkut yang profon saja tetapi juga yang sakral; bukan hanya yang lahiriyah saja, tetapijuga yang bathiniyah.
Konsep “keberagamaan” sanggup diketahui menyerupai yang diungkapkan oleh Cardwell (1980:1) yaitu bahwa “religious city is widely used, but dificult concept to difine and consequently has traditionally been a difficult concept for sociologists to research.”
Definisi semacam itu akan mengalami kesulitan ketika digunakan untuk melihat agama-agama non-teis menyerupai Buddhisme dan Taoisme. Tak anyal kalau dari definisi tersebut, muncul perdebatan apakah Buddhisme dan Taoisme merupakan sebuah agama atau sebuah aliran filsafat. Namun yang perlu dicatat ialah keduanya mempunyai konsep akan suatu keberadaan metafisik atau transenden yang merupakan awal dari keberadaan alam semesta. Maka secara fundamental dan umum, agama sanggup diartikan sebagai seperangkat hukum dan peraturan yang mengatur korelasi insan dengan dunia ghaib contohnya dengan Tuhan bagi agama-agama Teistik yang mengatur insan dengan manusialainnya dan mengatur insan dengan alam semeta. Agama sebagai sebuah sistem keyakinan berisikan aliran dan petunjuk bagi para penganutnya biar selamat dalam kehidupan serta sesudah kematian. Oleh karenaitu wacana keyakinan keagamaan sanggup dilihat sebagai orientasi padamasa yang akan tiba dengan cara mengikuti kewajiban-kewajiban keagamaan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan agama yang dianut atau diyakininya.
Sementara itu Elizabeth K. Nittinghm beropini bahwa agama bukanlah sesuatu yang sanggup dipahami melalui definisi melainkan deskripsi (penggambaran). Agama merupakan tanda-tanda yang sering “terdapat dimana-mana” serta berkaitan dengan perjuangan insan untuk mengukur dalamnya makna dari kebenaran diri sendiri dan kebenaran alam semesta. Agama melibatkan dirinya dalam kasus kehidupan sehari-hari sehingga sanggup dijadikan keyakinan insan terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati (supranatural) yang menyertai insan dalam ruang lingkup kehidupan.
Dengan demikian, tanpa mengurangisubstansi dari pokok yang sedang kita bicarakan, sanggup disimpulkan bahwa agama merupakan pengikat kehidupan insan yang diwariskan secara berulang dari generasi ke generasi. Dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi insan biar mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat, yang di dalamnya meliputi unsur kepercayaan kepada kekuatan ghaib yang selanjutnya menjadikan respons emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebutbergantung pada adanya korelasi yang baik dengan kekuatan ghaib tersebut. Agama juga berarti kepercayaan kepada yang kudus menyatakan diri pada korelasi dengan Tuhan dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan, membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin-doktrin tertentu dari kitab suci. Disamping itu agama secara luas bahkan meliputi juga wacana keseluruhan proses peradaban insan yang akan menghasilkan kebudayaan.
Islam sebagai gerakan kultural intinya lebih menekankan keterbukaan dan obrolan untuk mencari bentuk sintetik gres yang lebih baik, dan berbasis pada akhlakul karimahyaitu memperkuat dan mempertinggi budi pekerti, sehingga kelangsungan hidup masyarakat lebih terjaga. Kekuatan masyarakat pada hakekatnya tergantung pada budi pekerti. Jika budi pekerti itu jatuh, maka jatuhlah masyarakat itu.
Allah SWT berfirman: Artinya : “Serulah (manusia)kepada jalan Tuhanmu dengan pesan tersirat dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui wacana siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang menerima petunjuk.”(Q.S an-Nahl:125)
Dalam hal ini tidak akan diuraikan wacana prinsip-prinsip Islam dalam mengubah masyarakat menuju kualitas hidup yang lebih baik, tetapi disini akan disebutkan hal-hal yang dianggap prinsipal dan mencerminkan pandangan Islam wacana peranan agama.
a. Islam memandang bahwa kehadiran agama di dunia ini dimaksudkan untuk mengubah masyarakat dari zulumat kepada annur. Islam ialah agama yang menghendaki perubahan. Ia tiba bukan untuk membenarkan status quo, akan tetapi tiba untuk membenarkannya. Islam tiba untuk membebaskan mereka dari hidup kemaksiatan menuju ketaatan, dari kebodohan menuju pengertian.
b. Istilah Islam untuk membangun dalam hal ini ditegaskan dalam firman Allah Q.S ar-Ra’d ayat 11 yaitu: Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Q.S ar-Ra’d : 11) Islam memandang perubahan-perubahan sosial harus dimulai dari perubahan individual, secara berangsur-angsur perubahan individual ini harus disusul dengan perubahan konstitusional.
c. Islam memandang bahwa perubahan individual harus bermula dari peningkatan dimensi intelektual kemudian dimensi idiologikal. Dimensi ritual harus tercermin pada dimensi sosial.
d. Islam memandang bahwa kemunduran umat Islam bukan hanya terletak pada kejahiliyahan wacana syariat Islam, tetapi pada ketimpangan struktur ekonomi dan sosial.
Kita sering berbicara wacana agama, dan berakhir dengan perbedaan yang meruncing, hanya alasannya ialah masing-masing memandang agama dari dimensi yang berbeda. Satu pihak memandang bahwa kesadaran agama sedang bangkit, alasannya ialah melihat pengunjung masjid melimpah dan peringatan keagamaan yang meriah. Pihak yang lain memperlihatkan kemundurannya perasaan beragama dengan meningkatnya tindakan kriminal, prilaku anti sosial, dan kemerosotan moral, kedua pihak tidak akan bertemu sebelum ditunjukan kepada mereka, agama yang mereka bicarakan ialah tidak sama, pihak pertama membicarakan agama dalam dimensi ritual, yang kedua dalam dimensi sosial.
Agama ialah sistem yang terdiri dari beberapa aspek bukan dari suatu yang tunggal, berdasarkan Gloock dan Stark ada lima dimensi keagamaan yaitu: ritual, mistikal, idiologikal, intelektual dan sosial. Dimensi ritual berkenaan dengan upacara-upacara keagamaan, situs-situs religius, menyerupai sholat, misa atau kebaktian. Dimensi mistikal memperlihatkan pengalaman keagamaan yang meliputi paling sedikit empat aspek yaitu: concern, cognition, trust, dan fear, keinginan untuk mencapai nilai hidup, kesadaran akan kehadiran yang maha kuasa, tawakal dan taqwa ialah dimensi mistikal. Dimensi idiologikal mengacu pada rangkaian kepercayaan yang menjelaskan keberadaan insan vis a visTuhan dan mahluk Tuhan yang lain. Pada dimensi inilah contohnya orang Islam memandang insan sebagai kholifah fil ardh, dan orang Islam dipandang mengemban kiprah luhur untuk memperlihatkan tingkat pemahaman orang terhadapdoktrin-doktrin agamanya kedalamannya wacana aliran agama yang dipeluknya. Dimensi sosial disebut oleh Glock dan Stark sebagai consequensialdimensi ialah dimanifesikan aliran agama dalam kehidupan bermasyarakat,ini meliputi seluruh prilaku yang didefinisikan oleh agama.
Di dalam membicarakan keberagamaan secara umum Abdullah beropini bahwa ada tiga komponen dasar yaitu pengetahuan, penghayatan dan perbuatan atau dalam bahasa lain dikenal dengan kognisi, afeksi dan psikomotor dalam bahasa pendidikannya. Aspek pengetahuan atau kepercayaan bermuatan informasi wacana kepercayaan dan konstruk aliran agama. Aspek ini kiranya sesuai dengan yang dimaksud oleh Glock dan Stark sebagai aspek idiologikal, dan menyebut sebagai creedall. Adapun aspek afeksi bermuatan penghayatan terhadap keberadaan agama dan seluruh institusinya. Ada pula yang menyebut sebagai akad yang dari padanya melahirkan identitas keagamaan tertentu. Sedang aspek psikomotor bermuatan prilaku yang mewujud dalam tampilan-tampilan rill, baik yang bersifat ritual, etis, finansial, emosional maupun sosial.
Pandangan lain yamg kiranya juga tidak sanggup dikesampingkan dalam membicarakan wacana dimensi-dimensi keberagamaan ini ialah pandangan Fukuyama (1961), dimana menurutnya dalam memandang keberagamaan seseorang sanggup dilihat dari empat aspek atau dimensi yaitu “creedall” yang berkaitan dengan kasus kepercayaan, “cogniti” yang berkaitan dengan pengetahuan wacana aliran agama, “cultic” berkaitan dengan pelaksanaan ritual-ritual keagamaan dan “devisional” yang berkaitan dengan pengalaman dan emosi keagamaan.
Sesuai dengan perbedaan pendekatan sebagaimana disebutkan diatas, studi Glock dan Stark menyajikan komponen-komponen yang kiranya disamping membawa nuansa gres juga paling lengkap mengenai refleksi keberagamaan. Menurut mereka, kelima komponen atau aspek ini (ada yang menyebut keterlibatan=involve) yaitu aspek ritual yang menyangkut wacana aktifitas penunaian peribadatan menyerupai sholat, berdo’a, membaca kitab suci, aspek idiologi yang menyangkut wacana dogma-dogma atau tradisi, aspek intelektual yang menyangkut wacana pengetahuan yang berkaitan dengan aliran agama, aspek eksperiensial yang menyangkut pengalaman atau emosi keagamaan dan aspek konsekuensial yang menyangkut prilaku sosial yang didorong atau dimotivasi oleh aliran agama.
Menurut Glok dan Stark keberagamaan muncul dalam lima dimensi. Dimensi-dimensi itu ialah keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi-konsekuensi yang mana akan diterangkan di bawah ini.
1. Dimensi Keyakinan
Dimensi ini berisikan pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut di harapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya diantara aliran agama, tetapi seringkali juga diantara tradisi-tradisi dalam agama yang sama.
2. Dimensi Praktek Agama
Dimensi ini menyangkup prilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk memperlihatkan akad terhadap agama yang dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri dari dua kelas penting: Ritual mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suciyang semua agama mengharapkan para penganutnya melaksanakan. Dalam kristen sebagian dari pengharapan ritual formal itu diwujudkan dalam kebaktian di gereja, komplotan suci, baptis, perkawinan dan semacamnya.
Ketaatan dan ritual bagaikanikan dengan air, meski ada perbedaan penting, apabila aspek dari akad sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai perangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal, dan khas pribadi. Ketaatan dikalangan penganut kristen diungkapkan melalui sembahyang pribadi, membaca injil dan barang kali menyanyi hymnebersama-sama.
3. Dimensi Pengalaman
Dimensi ini bersikap dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung penghargaan-penghargaan tertentu, meski tidak tepat dikatakan bahwa seseorang yang beragama baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan eksklusif mengenai kenyataan terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia kan mencapai suatu keadaan kontak dengan mediator supernatural). Seperti telah kita kemukakan, dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi,dan sensasi-sensasi yang dialami seorang pelaku atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat komunikasi walaupun kecil dengan suatu esensi ketuhanan, yakni dengan Tuhan, dengan kenyataan terakhir, dengan otoritas transendental (Glok dan Stark 1965, penggalan 3 dan 8) tegasnya ada kontras-kontras yang nyata dalam banyak sekali pengalaman tersebut yangdianggap layak oleh banyak sekali tradisi dan forum keagamaan, dan agama juga bervariasi dalam hal dekatnya jarak dengan prakteknya. Namun setiap agama mempunyai paling tidak nilai minimal terhadap sejumlah pengalaman subjektif keagamaan sebagai tanda keberagamaan individual.
4. Dimensi Pengetahuan Agama
Dimensi ini menyatu kepada impian bahwa orang-orang yang beragama paling tidak mempunyai sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi Indonesia. Dimensi pengetahuan dan keyakinan berkaitan satu dengan yang lainnya alasannya ialah pengetahuan mengenai suatu keyakinan ialah syarat bagi penerimanya walaupun demikian, keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat pengetahuan, juga semua pengetahuan agama tidak selalu bersandar pada keyakinan. Lebih jauh, seseorang sanggup berkeyakinan berpengaruh tanpa benar-benar memahami agamanya atau kepercayaannya bisa berpengaruh atas dasar pengetahuan yang sedikit.
5. Dimensi Sosial
Komitmen agama berkaitan dari keempat dimensi yang sudah dibahas di atas. Dimensi ini mengacu kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Istilah ”kerja” dalam pengertian teologis digunakan disini. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya terperinci sebatas mana konsekuensi agama merupakan penggalan dari akad keagamaan atau semata-mata berasal dari agama.
Keberagamaan dalam ruang publik sosial setidaknya didasari pengindraan kecerdikan insan terhadap kenyataan. Hal semacam itu merupakan satu kesatuan system kehidupan, yang dibekalkan Tuhan kepada manusia, berupa cipta, rasa, karsa, yang bermuara pada akal. Pada dikala semuanya memainkan fungsi dan memegang otoritasnya masing-masing, terwujudlah suatu kebudayaan dalam kenyataan.
Secara etimologi religius berasal dari kata reli-religious yang artinya hal yang bekerjasama dengan agama dan secara terminologi religius ialah segala sesuatu yang bekerjasama dengan agama menyerupai daerah ibadah, kitab-kitab suci dan ritual keagamaan. Beda lagi berdasarkan Zaenal Arifin Abbas secara etimologi religius berasal dari bahasa Latin yaitu religio, sedangkan secara terminologi religius ialah suatu ikatan lengkap untuk mengikat insan dengan pekerjaan-pekerjaannya sebagai ikatan wajib dan sedangkan agama berdasarkan bahasa artinya untuk mengikat insan kepada Tuhan-nya. Agama (religion) dan pengalaman religius (religions exsperience) ialah dua istilah kunci karya James, namun apa yang dimaksud agama oleh James berbeda dengan pengertian umum. Karena James sendiri tidak begitu suka dengan istilah atau rumusan-rumusan agama yang terlalu institusional, formal dan kaku.
Tylor menyampaikan agama sebagai “kepercayaan terhadap hal-hal yang spiritual”. Agama lahir dari para “filosof primitif” untuk mengerti dan memahami pengalaman-pengalaman mental mereka. Sedangkan Geertz menyampaikan agama ialah sistim simbol yang gunanya membentuk mooddan motivasi-motivasi yang begitukuat, melingkupi dan bertahan usang dalam diri insan dengan memformulasikan konsepsi-konsepsi tatanan umum keberadaan dan menyelubungi konsep-konsep tersebut dengan semacam aura faktualitas sehingga mood dan motivasi-motivasi secara unik sanggup ditangkap sebagai suatu yang realitas. Agama ialah jawaban-jawaban menyeluruh terhadap pertanyaan-pertanyaan inti eksistensial yang selalu dihadapi umat manusia, pengkodifikasian jawaban-jawaban ini ke dalam bentuk-bentuk kredo menjadi sangat signifikan bagi para penganutnya, ritual dan upacara-upacaranya memperlihatkan ikatan emosional bagi setiap individu yang melaksanakannya, pembentukan badan institusional membawa mereka yang sama-sama menganut kredo dan melakukan ritus dan upacara tersebut ke dalam kongregasi, dan yang tak kalah pentingnya badan institusi bisa melanggengkan ritus-ritus tersebutdari generasi kegenerasi.
Keberagamaan, berdasarkan JalaluddinRahmat yaitu sikap yang bersumber eksklusif atau tidak eksklusif kepada Nash. Dari definisi keberagamaan tersebut, maksudnya ialah referensi sikap seseorang yang berusaha menuju kepada referensi kehidupan yang sesuai dengan tuntunan aliran Islam.
Untuk menjelaskan makna keberagamaan sebagaimana yang menjadi fokus penelitian ini, maka perlu kiranya dimulai dengan mencari akar dari kata yang membentuknya. Dalam hal ini, keberagamaan berasal dari kata dasar “agama” yang berarti sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan aliran kebaktian dan kewajiban-kewajiaban yang bertahan dengan kepercayaannya itu. Pengertian agama sanggup dilihat dari sisi etimologi bahwa istilah agama berasal dari kata: “a” yang berarti “tidak” dan “agama” yang berarti “kacau”. Agama dengan demikian berarti hukum atau tatanan untuk mencegah kekacauan dalam kehidupan manusia, atau dalam bahasa Inggris disebut “religion”, yang berakar pada bahasa Latin “religio” yang berarti “mengikat erat”. Dalam Islam terdapat istilah “din” yang bisa juga diterjemahkan sebagai agama yakni meliputi keberhutangan, ketundukan, kekuatan yang menghadiri dan kecenderungan alami.
Istilah atau konsep “keberagamaan” sudah secara luas digunakan dalam wacana keseharian, namun tidak demikian halnya di dalam wacana studi. Di dalam wacana studi, konsep “keberagamaan” atau religiou city, merupakan konsep yang bersifat complicatedatau rumit. Kerumitan itu secara substantif tercermin pada apakah keberagamaan itu hanya berkaitan dengan kualitas responsi umat sesuatu agama terhadap sistem aliran agamanya yang tercermin pada banyak sekali dimensinya. Apabila ya, apakah mungkin seseorang sanggup mengetahui jati diri dari sesuatu agama secara utuh dan sempurna? Mengingat bahwa dilema keberagamaan tidak hanya menyangkut yang profon saja tetapi juga yang sakral; bukan hanya yang lahiriyah saja, tetapijuga yang bathiniyah.
Konsep “keberagamaan” sanggup diketahui menyerupai yang diungkapkan oleh Cardwell (1980:1) yaitu bahwa “religious city is widely used, but dificult concept to difine and consequently has traditionally been a difficult concept for sociologists to research.”
Definisi semacam itu akan mengalami kesulitan ketika digunakan untuk melihat agama-agama non-teis menyerupai Buddhisme dan Taoisme. Tak anyal kalau dari definisi tersebut, muncul perdebatan apakah Buddhisme dan Taoisme merupakan sebuah agama atau sebuah aliran filsafat. Namun yang perlu dicatat ialah keduanya mempunyai konsep akan suatu keberadaan metafisik atau transenden yang merupakan awal dari keberadaan alam semesta. Maka secara fundamental dan umum, agama sanggup diartikan sebagai seperangkat hukum dan peraturan yang mengatur korelasi insan dengan dunia ghaib contohnya dengan Tuhan bagi agama-agama Teistik yang mengatur insan dengan manusialainnya dan mengatur insan dengan alam semeta. Agama sebagai sebuah sistem keyakinan berisikan aliran dan petunjuk bagi para penganutnya biar selamat dalam kehidupan serta sesudah kematian. Oleh karenaitu wacana keyakinan keagamaan sanggup dilihat sebagai orientasi padamasa yang akan tiba dengan cara mengikuti kewajiban-kewajiban keagamaan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan agama yang dianut atau diyakininya.
Sementara itu Elizabeth K. Nittinghm beropini bahwa agama bukanlah sesuatu yang sanggup dipahami melalui definisi melainkan deskripsi (penggambaran). Agama merupakan tanda-tanda yang sering “terdapat dimana-mana” serta berkaitan dengan perjuangan insan untuk mengukur dalamnya makna dari kebenaran diri sendiri dan kebenaran alam semesta. Agama melibatkan dirinya dalam kasus kehidupan sehari-hari sehingga sanggup dijadikan keyakinan insan terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati (supranatural) yang menyertai insan dalam ruang lingkup kehidupan.
Dengan demikian, tanpa mengurangisubstansi dari pokok yang sedang kita bicarakan, sanggup disimpulkan bahwa agama merupakan pengikat kehidupan insan yang diwariskan secara berulang dari generasi ke generasi. Dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi insan biar mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat, yang di dalamnya meliputi unsur kepercayaan kepada kekuatan ghaib yang selanjutnya menjadikan respons emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebutbergantung pada adanya korelasi yang baik dengan kekuatan ghaib tersebut. Agama juga berarti kepercayaan kepada yang kudus menyatakan diri pada korelasi dengan Tuhan dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan, membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin-doktrin tertentu dari kitab suci. Disamping itu agama secara luas bahkan meliputi juga wacana keseluruhan proses peradaban insan yang akan menghasilkan kebudayaan.
Islam sebagai gerakan kultural intinya lebih menekankan keterbukaan dan obrolan untuk mencari bentuk sintetik gres yang lebih baik, dan berbasis pada akhlakul karimahyaitu memperkuat dan mempertinggi budi pekerti, sehingga kelangsungan hidup masyarakat lebih terjaga. Kekuatan masyarakat pada hakekatnya tergantung pada budi pekerti. Jika budi pekerti itu jatuh, maka jatuhlah masyarakat itu.
Allah SWT berfirman: Artinya : “Serulah (manusia)kepada jalan Tuhanmu dengan pesan tersirat dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui wacana siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang menerima petunjuk.”(Q.S an-Nahl:125)
Dalam hal ini tidak akan diuraikan wacana prinsip-prinsip Islam dalam mengubah masyarakat menuju kualitas hidup yang lebih baik, tetapi disini akan disebutkan hal-hal yang dianggap prinsipal dan mencerminkan pandangan Islam wacana peranan agama.
a. Islam memandang bahwa kehadiran agama di dunia ini dimaksudkan untuk mengubah masyarakat dari zulumat kepada annur. Islam ialah agama yang menghendaki perubahan. Ia tiba bukan untuk membenarkan status quo, akan tetapi tiba untuk membenarkannya. Islam tiba untuk membebaskan mereka dari hidup kemaksiatan menuju ketaatan, dari kebodohan menuju pengertian.
b. Istilah Islam untuk membangun dalam hal ini ditegaskan dalam firman Allah Q.S ar-Ra’d ayat 11 yaitu: Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Q.S ar-Ra’d : 11) Islam memandang perubahan-perubahan sosial harus dimulai dari perubahan individual, secara berangsur-angsur perubahan individual ini harus disusul dengan perubahan konstitusional.
c. Islam memandang bahwa perubahan individual harus bermula dari peningkatan dimensi intelektual kemudian dimensi idiologikal. Dimensi ritual harus tercermin pada dimensi sosial.
d. Islam memandang bahwa kemunduran umat Islam bukan hanya terletak pada kejahiliyahan wacana syariat Islam, tetapi pada ketimpangan struktur ekonomi dan sosial.
Kita sering berbicara wacana agama, dan berakhir dengan perbedaan yang meruncing, hanya alasannya ialah masing-masing memandang agama dari dimensi yang berbeda. Satu pihak memandang bahwa kesadaran agama sedang bangkit, alasannya ialah melihat pengunjung masjid melimpah dan peringatan keagamaan yang meriah. Pihak yang lain memperlihatkan kemundurannya perasaan beragama dengan meningkatnya tindakan kriminal, prilaku anti sosial, dan kemerosotan moral, kedua pihak tidak akan bertemu sebelum ditunjukan kepada mereka, agama yang mereka bicarakan ialah tidak sama, pihak pertama membicarakan agama dalam dimensi ritual, yang kedua dalam dimensi sosial.
Agama ialah sistem yang terdiri dari beberapa aspek bukan dari suatu yang tunggal, berdasarkan Gloock dan Stark ada lima dimensi keagamaan yaitu: ritual, mistikal, idiologikal, intelektual dan sosial. Dimensi ritual berkenaan dengan upacara-upacara keagamaan, situs-situs religius, menyerupai sholat, misa atau kebaktian. Dimensi mistikal memperlihatkan pengalaman keagamaan yang meliputi paling sedikit empat aspek yaitu: concern, cognition, trust, dan fear, keinginan untuk mencapai nilai hidup, kesadaran akan kehadiran yang maha kuasa, tawakal dan taqwa ialah dimensi mistikal. Dimensi idiologikal mengacu pada rangkaian kepercayaan yang menjelaskan keberadaan insan vis a visTuhan dan mahluk Tuhan yang lain. Pada dimensi inilah contohnya orang Islam memandang insan sebagai kholifah fil ardh, dan orang Islam dipandang mengemban kiprah luhur untuk memperlihatkan tingkat pemahaman orang terhadapdoktrin-doktrin agamanya kedalamannya wacana aliran agama yang dipeluknya. Dimensi sosial disebut oleh Glock dan Stark sebagai consequensialdimensi ialah dimanifesikan aliran agama dalam kehidupan bermasyarakat,ini meliputi seluruh prilaku yang didefinisikan oleh agama.
Di dalam membicarakan keberagamaan secara umum Abdullah beropini bahwa ada tiga komponen dasar yaitu pengetahuan, penghayatan dan perbuatan atau dalam bahasa lain dikenal dengan kognisi, afeksi dan psikomotor dalam bahasa pendidikannya. Aspek pengetahuan atau kepercayaan bermuatan informasi wacana kepercayaan dan konstruk aliran agama. Aspek ini kiranya sesuai dengan yang dimaksud oleh Glock dan Stark sebagai aspek idiologikal, dan menyebut sebagai creedall. Adapun aspek afeksi bermuatan penghayatan terhadap keberadaan agama dan seluruh institusinya. Ada pula yang menyebut sebagai akad yang dari padanya melahirkan identitas keagamaan tertentu. Sedang aspek psikomotor bermuatan prilaku yang mewujud dalam tampilan-tampilan rill, baik yang bersifat ritual, etis, finansial, emosional maupun sosial.
Pandangan lain yamg kiranya juga tidak sanggup dikesampingkan dalam membicarakan wacana dimensi-dimensi keberagamaan ini ialah pandangan Fukuyama (1961), dimana menurutnya dalam memandang keberagamaan seseorang sanggup dilihat dari empat aspek atau dimensi yaitu “creedall” yang berkaitan dengan kasus kepercayaan, “cogniti” yang berkaitan dengan pengetahuan wacana aliran agama, “cultic” berkaitan dengan pelaksanaan ritual-ritual keagamaan dan “devisional” yang berkaitan dengan pengalaman dan emosi keagamaan.
Sesuai dengan perbedaan pendekatan sebagaimana disebutkan diatas, studi Glock dan Stark menyajikan komponen-komponen yang kiranya disamping membawa nuansa gres juga paling lengkap mengenai refleksi keberagamaan. Menurut mereka, kelima komponen atau aspek ini (ada yang menyebut keterlibatan=involve) yaitu aspek ritual yang menyangkut wacana aktifitas penunaian peribadatan menyerupai sholat, berdo’a, membaca kitab suci, aspek idiologi yang menyangkut wacana dogma-dogma atau tradisi, aspek intelektual yang menyangkut wacana pengetahuan yang berkaitan dengan aliran agama, aspek eksperiensial yang menyangkut pengalaman atau emosi keagamaan dan aspek konsekuensial yang menyangkut prilaku sosial yang didorong atau dimotivasi oleh aliran agama.
Menurut Glok dan Stark keberagamaan muncul dalam lima dimensi. Dimensi-dimensi itu ialah keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi-konsekuensi yang mana akan diterangkan di bawah ini.
1. Dimensi Keyakinan
Dimensi ini berisikan pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut di harapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya diantara aliran agama, tetapi seringkali juga diantara tradisi-tradisi dalam agama yang sama.
2. Dimensi Praktek Agama
Dimensi ini menyangkup prilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk memperlihatkan akad terhadap agama yang dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri dari dua kelas penting: Ritual mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suciyang semua agama mengharapkan para penganutnya melaksanakan. Dalam kristen sebagian dari pengharapan ritual formal itu diwujudkan dalam kebaktian di gereja, komplotan suci, baptis, perkawinan dan semacamnya.
Ketaatan dan ritual bagaikanikan dengan air, meski ada perbedaan penting, apabila aspek dari akad sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai perangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal, dan khas pribadi. Ketaatan dikalangan penganut kristen diungkapkan melalui sembahyang pribadi, membaca injil dan barang kali menyanyi hymnebersama-sama.
3. Dimensi Pengalaman
Dimensi ini bersikap dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung penghargaan-penghargaan tertentu, meski tidak tepat dikatakan bahwa seseorang yang beragama baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan eksklusif mengenai kenyataan terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia kan mencapai suatu keadaan kontak dengan mediator supernatural). Seperti telah kita kemukakan, dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi,dan sensasi-sensasi yang dialami seorang pelaku atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat komunikasi walaupun kecil dengan suatu esensi ketuhanan, yakni dengan Tuhan, dengan kenyataan terakhir, dengan otoritas transendental (Glok dan Stark 1965, penggalan 3 dan 8) tegasnya ada kontras-kontras yang nyata dalam banyak sekali pengalaman tersebut yangdianggap layak oleh banyak sekali tradisi dan forum keagamaan, dan agama juga bervariasi dalam hal dekatnya jarak dengan prakteknya. Namun setiap agama mempunyai paling tidak nilai minimal terhadap sejumlah pengalaman subjektif keagamaan sebagai tanda keberagamaan individual.
4. Dimensi Pengetahuan Agama
Dimensi ini menyatu kepada impian bahwa orang-orang yang beragama paling tidak mempunyai sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi Indonesia. Dimensi pengetahuan dan keyakinan berkaitan satu dengan yang lainnya alasannya ialah pengetahuan mengenai suatu keyakinan ialah syarat bagi penerimanya walaupun demikian, keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat pengetahuan, juga semua pengetahuan agama tidak selalu bersandar pada keyakinan. Lebih jauh, seseorang sanggup berkeyakinan berpengaruh tanpa benar-benar memahami agamanya atau kepercayaannya bisa berpengaruh atas dasar pengetahuan yang sedikit.
5. Dimensi Sosial
Komitmen agama berkaitan dari keempat dimensi yang sudah dibahas di atas. Dimensi ini mengacu kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Istilah ”kerja” dalam pengertian teologis digunakan disini. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya terperinci sebatas mana konsekuensi agama merupakan penggalan dari akad keagamaan atau semata-mata berasal dari agama.