Yang Dimaksud Pengertian Konflik
Pengertian Konflik - Dalam perspektif materialism dialektic terdapat kekuatan dari perkembangan individu dan sosial yang sanggup mendoron...

https://tutorialcarapintar.blogspot.com/2019/02/yang-dimaksud-pengertian-konflik.html
Dengan pengelolahan yang baik, konflik justru sanggup semakin memperkukuh kekerabatan dan meningkatkan kepaduan dan rasa solidaritas. Konflik seepenuhnya merupakan potongan dari kehidupan bermasyarakat yang harus dianggap oenting yaitu untuk merangsang pemikiran-pemikiran yang baru, mempromosikan perubahan sosial, menegaskan kekerabatan dalam kelompok, membantu kita membentuk persaan perihal identitas pribadi, dan memahami aneka macam hal yang kita hadap dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana pendapat Wirawan (2012) fungsi konflik antara lain: (1) sebagai alat untu memelihara solidaritas; (2) membantu membuat ikatan aliansi dengan kelompok lain; dan (3) mengaktifkan tugas individu yang semula terisolasi. 1 Konflik dalam perspektif sosiologi yakni salah satu cara untuk mempersatukan dan bahkan mempertegas sistem sosial yang ada dalam masyarakat. Ada dua perkiraan yang mandasari munculnya konflik, yaitu:
a. Asumsi teoritis struktural fungsional konflik:
1. Masyarakat terbentuk atas dasar konsensus warga masyarakat.
2. Anggota masyarakat memilikoi kesepakatan bersama tentang: volue,norms dan kebudayaan yang harus ditaati dan dipelihara bersama.
3. Hubungan antar anggota masyarakat bersifat kohesif.
4. Lebih mengutamakan solidaritas antar warga masyarakat.
5. Memelihara kekerabatan resiproitas antar warga masyarakat.
6. Otoritas pemimpin didasarkan pada legistimasi warga masyarakat.
7. Masyarakat menjaga ketertiban sosial (social order) dalam hidup bersama.
b. Asumsi teoritis struktural konflik:
1. Masyarakat muncul atas dasar kepentingan.
2. Dorongan anggota-anggota masyarakat menghasilkan perubahan.
3. Hubungan antar warga masyarakat bersifat devisive.
4. Cirri oposisi lebih menonjol dalam kekerabatan sosial.
5. Konflik structural menjadi potongan dari perubahan sosial dalam masyarakat.
6. Masyarakat juga ditandai oleh deferensiasi sosial yang semakin berkembang.
7. Social disorder mengakibatkan masyarakat menjadi dinamis.
a. Asumsi teoritis struktural fungsional konflik:
1. Masyarakat terbentuk atas dasar konsensus warga masyarakat.
2. Anggota masyarakat memilikoi kesepakatan bersama tentang: volue,norms dan kebudayaan yang harus ditaati dan dipelihara bersama.
3. Hubungan antar anggota masyarakat bersifat kohesif.
4. Lebih mengutamakan solidaritas antar warga masyarakat.
5. Memelihara kekerabatan resiproitas antar warga masyarakat.
6. Otoritas pemimpin didasarkan pada legistimasi warga masyarakat.
7. Masyarakat menjaga ketertiban sosial (social order) dalam hidup bersama.
b. Asumsi teoritis struktural konflik:
1. Masyarakat muncul atas dasar kepentingan.
2. Dorongan anggota-anggota masyarakat menghasilkan perubahan.
3. Hubungan antar warga masyarakat bersifat devisive.
4. Cirri oposisi lebih menonjol dalam kekerabatan sosial.
5. Konflik structural menjadi potongan dari perubahan sosial dalam masyarakat.
6. Masyarakat juga ditandai oleh deferensiasi sosial yang semakin berkembang.
7. Social disorder mengakibatkan masyarakat menjadi dinamis.
Dari paparan diatas secara singkat sanggup disimpulkan sebagai berikut: Pertama, konflik sebagaimana konsensus merupakan realitas sosial yang terdapat di dalam masyarakat. Konflik merupakan unsur dasar manusia, oleh alasannya itu kontradiksi tidak sanggup dilenyapkan dari kehidupan masyarakat. Konflik merupakan perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan yang berkenaan dengan status, kekuasaan dan sumber-sumber kekayaan, yang persediaannya terbatas. Konflik sanggup bersifat individual, kelompok ataupun kombinasi keduanya.
Yang terperinci baik yang bersifat intra maupun yang antar kelompok senantiasa ada dalam kehidupan bersama di masyarakat. Kedua, pihak-pihak yang berselisih sering tidak hanya bermaksud untuk memperoleh “sesuatu” yang diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugikan atau bahkan sling menghancurkan. Teori konflik mempunyai tiga perkiraan utama yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan, yaitu: (a) insan mempunyai sejumlah kepentingan- kepentingan asasi; dan mereka senantiasa untuk mewujudkannya; (b) power (kekuasaan) disamping merupakan barang langkah juga terbagi secara tidak merata sehingga merupakan sumber konflik dan mempunyai sifat memaksa; (c) ideologi dan nilai-nilai merupakan senjata yang dipakai oleh aneka macam kelompok yang berbeda untuk meraih tujuan dan kepentingan mereka masing-masing. Ketiga, kalau kalangan para fungsionalis beranggapan bahwa setiap elemen sistem sosial itu mempunyai tiga fungsi, dan fungsinya merupakan bantuan positif dalam membuat ekuabilium, maka tidak demikian bagi kalangan konflik.
Kalangan teoritis konflik beranggapan bahwa setiap elemen sistem sosial mempunyai bantuan dalam membuat konflik di dalam masyarakat. Jika kalangan fungsionalis menganggap bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di dalam suatu system itu berasal dari luar (ekstra systemic change) maka kalangan konflik sanggup menandakan bahwa faktor-faktor internal pun sanggup berfungsi sebagai pencipta konflik dan pada gilirannya mengakibatkan perubahan- perubahan sosial, demikian juga dalam kalangan keluarga. Jika kalangan fungsionalis menganggap norma dan nilai sebagai elemen- elemen dasar dalam kehidupan sosial, maka bagi kalangan konflik, elemen kehidupan sosial yakni kepentingan. Jika kalangan fungsionalis menganggap masyarakat senantiasa terintegrasi atas dasar konsensus pada anggotanya tanpa paksaan, maka sebaliknya bagi kalangan konflik, paksaan merupakan elemen penting dalam membuat ketertiban masyarakat oleh kelompok atau kelas dominan.
Yang terperinci baik yang bersifat intra maupun yang antar kelompok senantiasa ada dalam kehidupan bersama di masyarakat. Kedua, pihak-pihak yang berselisih sering tidak hanya bermaksud untuk memperoleh “sesuatu” yang diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugikan atau bahkan sling menghancurkan. Teori konflik mempunyai tiga perkiraan utama yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan, yaitu: (a) insan mempunyai sejumlah kepentingan- kepentingan asasi; dan mereka senantiasa untuk mewujudkannya; (b) power (kekuasaan) disamping merupakan barang langkah juga terbagi secara tidak merata sehingga merupakan sumber konflik dan mempunyai sifat memaksa; (c) ideologi dan nilai-nilai merupakan senjata yang dipakai oleh aneka macam kelompok yang berbeda untuk meraih tujuan dan kepentingan mereka masing-masing. Ketiga, kalau kalangan para fungsionalis beranggapan bahwa setiap elemen sistem sosial itu mempunyai tiga fungsi, dan fungsinya merupakan bantuan positif dalam membuat ekuabilium, maka tidak demikian bagi kalangan konflik.
Kalangan teoritis konflik beranggapan bahwa setiap elemen sistem sosial mempunyai bantuan dalam membuat konflik di dalam masyarakat. Jika kalangan fungsionalis menganggap bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di dalam suatu system itu berasal dari luar (ekstra systemic change) maka kalangan konflik sanggup menandakan bahwa faktor-faktor internal pun sanggup berfungsi sebagai pencipta konflik dan pada gilirannya mengakibatkan perubahan- perubahan sosial, demikian juga dalam kalangan keluarga. Jika kalangan fungsionalis menganggap norma dan nilai sebagai elemen- elemen dasar dalam kehidupan sosial, maka bagi kalangan konflik, elemen kehidupan sosial yakni kepentingan. Jika kalangan fungsionalis menganggap masyarakat senantiasa terintegrasi atas dasar konsensus pada anggotanya tanpa paksaan, maka sebaliknya bagi kalangan konflik, paksaan merupakan elemen penting dalam membuat ketertiban masyarakat oleh kelompok atau kelas dominan.