Yang Dimaksud Pengertian Nilai Susila Berdasarkan Max Scheler
Nilai ialah kualitas atau sifat yang menciptakan apa yang bernilai jadi bernilai. Apa yang bernilai ialah tindakan atau korelasi sebuah keny...
https://tutorialcarapintar.blogspot.com/2019/02/yang-dimaksud-pengertian-nilai-susila.html
Nilai ialah kualitas atau sifat yang menciptakan apa yang bernilai jadi bernilai. Apa yang bernilai ialah tindakan atau korelasi sebuah kenyataan dalam dunia ini.
Max Scheler beropini bahwa nilai merupakan suatu kualitas yang tidak tergantung pada pembawanya, merupakan kualitas apriori (yang telah sanggup dirasakan insan tanpa melalui pengalaman indrawi terlebih dahulu). Tidak tergantung kualitas tersebut tidak hanya pada obyek yang ada didunia ini (misalnya lukisan patung tindakan manusiadan sebagainya), melainkan juga tidak tergantung pada reaksi kita terhadap benda dan nilai.
Nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung, dan tidak berubah seiring dengan perubahan barang. Sebagaimana warna biru tidak bermetamorfosis merah saat suatu objek berwarna birudicat menjadi merah, demikian pula tetap tidak berubah oleh perubahan yang terjadi pada objek yang memuat nilai bersangkutan. Sebagai contoh, pengkhianatan teman saya tidak mengubah nilai persahabatan. Tidak tergantungnya nilai mengandung arti juga bahwa nilai tidak sanggup berubah. Nilai bersifatabsolut, tidak dipersyaratkan oleh suatu tindakan, tidak memandang keberadaan alamiahnya, baik secara historis, sosiala biologis ataupun individu murni. Hanya pengetahuan kita wacana nilai bersifat relatif, bukan nilai itu sendiri.
Objektivitas aksiologis Max Scheler terkait sangat kuat dengan absolitismenya. Ia menolak segala teori realif mulai dari pandangan bahwa nilai mempunyai keberadaannya berhubugan dengan insan dan faktor psikis atau pesikofisiknya. Max Scheler percaya bahwa teori yang menyatakan bawah keberadaan nilai tergantung pada pesikofisik insan ialah abstrak (tidak masuk akal). Namun Max Scheler beropini bahwa keberadaan nilai tidak tergantung sama sekali pada pemahaman subjek, dengan demikian terperinci bahwa keberadaan nilai tidak tergantung pada kemampuan insan untuk menangkap dan merasakannya. Keberadaan ini bagi Max Scheler merupakan suatu intuisi dasar.
Max Scheler juga menolak ketergantungan nilai pada realitas kehidupan. Ia menyebutkan bahwa kalau nilai tergantung pada kehidupan, hal ini akan meniadakan kemungkinan untuk sanggup menambahkan nilai pada kehidupan itu sendiri. Kehidupan merupakan suatu fakta, yang tidak dengan sendirinya terkait dengan nilai. Nilai merupakan suatu yang ditambahkan untuk diwujudkan dalam kehidupan. Ia juga menolak teori yang mengakui relativitas histories nilai. Menurut Max Scheler relativitas histories mencoba mengasalkan nilai dari objek nilai histories yang merupakan hasil histories dan akibtanya nilai menjadi subjek bagi perubahan. Hal ini salah alasannya tidak memperhitungkan ketidak ketergantungan nilai, dan mencampuradukkan antara objek atau barang bernilai dengan nilai yang mempunyai standar berbeda. Nilai harus dipahami sebagi yang bersifat absolute, tetap dan tidak berubah serta tidak tergantung pada dunia indrawi yang selalu berubah dalam sejarah.
Max Scheler juga beropini bahwa suatu nilai tidak sanggup direduksikan atau dikembalikan pada ungkapan suatu perasaan. Kita kerap memahami nilai sebagai yang tidak tergantung pada perasaan yang kita alam. Dengan demikian kita sanggup menangkap keberadaan suatu nilai moral pada musuh kita secara objektif kita tidak mesti memberi nilai moral negatif pada musuh kita.
Max Scheler tidak percaya bahwa nilai harus dicari dalam kenyataan objek ideal sebagaiman bilangan dan gambar geometris berada. Benarlah bahwa konsep kebaikan hati konsep keindahan konsep kesenangan dan konsep lainya berada pada kenyataan ideal sedangkan nilai moral serta nilai artinnya tidak dibatasi keberadaannya pada konsep atau wilayah pengertian ideal. Menurut Max Scheler perbedaan harus dibuat antara konsep wacana suatu nilai dengan nilainya itu sendiri, contohnya anak yang berumur enam bulan sanggup mengalami nilai kebaikan hati ibunya, meskipun belum mempunyai suatu konsep wacana kebaikan. Jelas disini bahwa yang dialami dan dirasakan anak tadi bukan konsep nilai kebaikan melainkan nilai kebaikan. Sebaliknya, Plato menolak keberadaan nilai negatif dengan memperhatikan kaburukan yang hanya merupakan penampakan dihadapan realitas kebaikan yang sepenuh-penuhnya.
Semua nilai estetik intinya ialah nilai objek merupakan nilai yang menempel pada realitas bersangkutan realitas estetik semacam itu ada sebagai suatu yang tampak. Hal tersebut merupakan nilai objek alasannya mempunyai keserupaan dengan gambar yang diintuisi yang ditangkap dan dirasakan secara eksklusif dari realita bersangkutan. Dilain pihak, nilai etis ialah nilai yang membawahnya tidak pernah sebagai objek alasannya secara hakiki berada dalam dunia peribadi. Baik pribadi maupun tindakan tidak pernah merupakan objek bagi kita. Dan kalau kita cenderung mengobjektivikasikan insan dengan cara apa pun, maka mnausia sebagai pembawa nilai moral akan kehilangan artinya maknanya. Nilai budbahasa dimiliki oleh pribadi pembawa nilai sebagai sesuatu yang faktual mengenai dan kuat pada pribadi bersangkutan, tidak hanya sekedar merupakan objek citra saja.
Nilai pribadi berkaitan dengan pribadi sendiri tanpa mediator apa pun, sedangkan nilai barang menyangkut kehadiran nilai dalam hal bernilai. Hal bernilai mungkin material (hal yang menyenangkan, hal yang berguna), vital (segala hal yang bersifat ekonomis), atau spiritual (ilmu pengetahuan dan seni) yang juga disebut budaya. Berbeda dengan nilai-nilai barang tersebut yang menempel pada barang-barang bernilai, terdapat dua jenis nilai yang dimiliki dan menempel pada pribadi manusia, yaitu nilai pribadi itu sendiri, dan nilai keutamaan. Dalam pengertian ini, nilai pribadi lebih tinggi dari pada nilai-nilai barang lantaran nilai pribadi terletak dan mebentuk hakikat atau esensi pribadi yang bersangkutan.
Masih ada pembawa nilai lainnya, yaitu tindakan (tindakan memahami, mencintai, membenci, dan menginginkan), fungsi (pendengaran, penglihatan), dan jawaban atau reaksi (bergembira akan sesuatu). Pembawa nilai yang terakhir ini juga memuat jawaban terhadap pribadi manusia, menyerupai ikut merasakan, balas dendam, yang berbeda dengan tindakan spontan. Ketiga pembawa nilai ini termasuk dalam nilai pribadi. Ketigannya mempunyai korelasi hierarkis (bertingkat). Nilai tindakan lebih tinggi dari pada nilai fungsi, dan kedua nilai ini lebih tinggi dari pada nilai tanggapan.
Karena seluruh nilai intinya berada dalam suatu susunan hierarki (tingkatan), yaitu berada dalam korelasi satu sama lain sebagai sebagai yang lebih tinggi atau lebih rendah, dan lantaran hubungan-hubungan ini sanggup dipahami hanya dalam tindakan preferensi atau tindakan penolakan, maka perasaan akan nilai mempunyai dasarnya pada tindakan preferensi. Susunan tingkatan nilai tidak pernah sanggup diketahui didekdusikan atau dijabarkan secara logis. Nilai manakah lebih tinggi hanya sanggup diketahui melalui tindakan preferensi atau mendahulukan atau mengunggulkan atau tindakan meremehkan dengan menempatkan di tingkat lebih rendah.
Hierarki nilai terdiri dari empat tingkatan, yaitu;
1. Nilai Kesenangan.
Pada tingkat terendah, kita sanggup menemukan formasi nilai- nilai kesenangan dan nilai kesusahan, atau kenikmatan dan kepedihan. Tingkatan nilai ini berkaitan dengan fungsi dari perasaan inderawi, yaitu rasa nikmat dan rasa sakit atau pedih. Rumusan bahwa kesenangan lebih disukai dari pada ketidaksenangan tidak ditetapkan menurut pengamatan atau induksi (berdasarkan pengalaman empiris indrawi), tetapi merupakan apriori (pengalaman yang mendahului serta tidak menurut pada pengamatan empiris inderawi) dan sudah termuat dalam inti nilai tersebut. Secara apriori sanggup dipastikan bahwa setiap orang akan menentukan yang menyenangkan dari pada yang tidak menyenangkan.
2. Nilai Vitalitas Atau Kehidupan.
Yang terdiri dari nilai-nilai rasa kehidupan, meliputi yang luhur, halus, atau lembut sampai yang berangasan atau biasa, dan juga meliputi yang anggun (dalam arti istimewa) yang berlawanan dengan yang jelek. Nilai-nilai yang diturunkan dari tingkatan ini meliputi kesejahteraan pada umumnya, baik pribadi maupun komunitas. Keadaan yang terkait ialah kesehatan, vitalitas, penyakit, lanjut usia, lemah, dan rasa mendekati kematian. Nilai vitalitas menghadirkan perasaan yang sama sekali tidak tergantung, serta tidak sanggup direduksi atau dikembalikan baik pada tingkatan nilai yang lebih tinggi (nilai spiritual) atau pada yang tingkatan nilai yang lebih rendah (nilai kegunaan atau kesenangan).
3. Nilai-Nilai Spiritual
Yang mempunyai sifat tidak tergantung pada seluruh lingkungan badaniah serta lingkungan alam sekitar. Tingkatan nilai ini mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada nilai kehidupan sanggup terlihat dengan terperinci bahwa orang wajib untuk mengorbankan nilai vitalitas demi nilai spiritual ini. Kita menangkap spiritual dengan rasa spiritual dan dalam tindakan preferensi spiritual yaitu menyayangi dan membenci. Perasaan dan tindak spiritual berbeda dengan fungsi vital serta tidak sanggup direduksi atau dikembalikan pada tingkat biologis. Jenis pokok dari nilai spiritual adalah:
a. Nilai Estetis, yang berkaitan dengan keindahan dan kejelekan
b. Nilai benar dan salah atau nilai adil dan tidak adil, yang merupaka dasar utama bagi bagi suatu tatanan hokum objektif; dan
c. Nilai dari pengetahuan murni demi dirinya sendiri, yang dicoba filsafat untuk diwujudkannya.
4. Nilai kesucian dan nilai keprofanan.
Nilai ini hanya tampak pada pada kita dalam objek yang dituju sebagai objek absolute. Tingkatan nilai kesucian ini tidak tergantung pada perbedaan waktu dan perbedaan orang yang membawannya. Keadaan perasaan yang berkaitan dengan nilai-nilai ini ialah rasa terberkati dan rasa putus impian yang secara terperinci harus dibedakan dengan sekedar rasa bahagia dan susah. Rasa terberkati dan putus impian mencerminkan serta mengukur pengalaman insan akan kedekatannya serta jaraknya dari yang suci. Tanggapan yang biasannya diberikan terhadap tongkatan nilai spiritual ini ialah beriman dan tidak beriman, kagum, memuji, dan menyembah. Tindakan yang terjadi dalam mencapai nilai kekudusan ialah suatu jenis cinta khusus yang secara hakikiterarah pada pribadi. Dengan demikian, tingkatan nilai ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi. Nilai-nilai turunannya ialah nilai-nilai barang dalam pemujaan sakramen dan bentuk-bentuk ibadat, sejauh terkait dengan pribadi yang dipuja.
Bagi Max Scheler, korelasi hierarkis nilai-nilai yang tersensun dari tingkat nilai kesenagan sampai nilai kekudusan bersifat apriori (sebagai yang memang adanya demikian semenjak awal sebelum ditemukan dan dialami manusia) dengan demikian mendahului setiap keterjalinan lainnya yang ada misalanya keterjalinan dalam pedoman dan pemanfaaatan yang dilakukan oleh insan ini sanggup diterapkan pada objek-objek bernilai yaitu pada nilai-nilai yang terwujud dalam objek-objek bersangkutan.
Keempat tingkatan nilai yang telah digambarkan diatas tidak memasukkan nilai moral baik dan jahat. Alasan Max Scheler ialah bahwa nilai-nilai moral berada yang berbeda pada segi yang berbeda. Nilai moral ditemukan dalam perwujudan nilai-nilai nonmoral. Nilai moral menempel pada tingkatan yang mewujudkan nilai-nilai lainya dalam tata tertip yang benar. Kebaikan moral ialah keinginan untuk mewujudkan nilai lebih tinggi atau nilai tertinggi, sedang kejahatan moral ialah menentukan nilai yang lebih rendah atau nilai yang terendah. Tindakan baik secara moral ialah tindakan mewujudkan nilai yang dimaksudkannya sebagai nilai yang lebih tinggi, serta menolak nilai yang lebih rendah. Sedankan tindakan jahat ialah tindakan yang menolak nilai yang lebih tinggi, dan mewujudkan nilai yang lebih rendah. Nilai moral baik tidak pernahmerupakan isi atau materi bagi tindakan untuk mewujudkan kehendak. Nilai baik tidak pernah dimaksud sebagai tujuan tindakan moral kita. Nilai ini hanya tampak di atas punggung tindakan lainnya yang mewujudkan nilai positif lebih tinggi.
Menurut Max Scheler, model merupakan rangsangan yang sangat efisien untuk kebaikan dan merupakan sumber yang sangat penting bagi perkembangan dan perubahan dalam bidang moral. Tidak suatu pun di dunia ini yang mendorongseorang person baik orsinal, eksklusif dan pasti, kecuali pengamatan yang penuh pengertian terhadap seorang person yang baik dalm kebaikannya. Seseorang dibuat dan dibangun dalam kebiasaan moral serta keberadaannya lebih dengan cara mengikuti suatu rujukan dari pada dengan mengikuti norma- norma.
Max Scheler beropini bahwa nilai merupakan suatu kualitas yang tidak tergantung pada pembawanya, merupakan kualitas apriori (yang telah sanggup dirasakan insan tanpa melalui pengalaman indrawi terlebih dahulu). Tidak tergantung kualitas tersebut tidak hanya pada obyek yang ada didunia ini (misalnya lukisan patung tindakan manusiadan sebagainya), melainkan juga tidak tergantung pada reaksi kita terhadap benda dan nilai.
Nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung, dan tidak berubah seiring dengan perubahan barang. Sebagaimana warna biru tidak bermetamorfosis merah saat suatu objek berwarna birudicat menjadi merah, demikian pula tetap tidak berubah oleh perubahan yang terjadi pada objek yang memuat nilai bersangkutan. Sebagai contoh, pengkhianatan teman saya tidak mengubah nilai persahabatan. Tidak tergantungnya nilai mengandung arti juga bahwa nilai tidak sanggup berubah. Nilai bersifatabsolut, tidak dipersyaratkan oleh suatu tindakan, tidak memandang keberadaan alamiahnya, baik secara historis, sosiala biologis ataupun individu murni. Hanya pengetahuan kita wacana nilai bersifat relatif, bukan nilai itu sendiri.
Objektivitas aksiologis Max Scheler terkait sangat kuat dengan absolitismenya. Ia menolak segala teori realif mulai dari pandangan bahwa nilai mempunyai keberadaannya berhubugan dengan insan dan faktor psikis atau pesikofisiknya. Max Scheler percaya bahwa teori yang menyatakan bawah keberadaan nilai tergantung pada pesikofisik insan ialah abstrak (tidak masuk akal). Namun Max Scheler beropini bahwa keberadaan nilai tidak tergantung sama sekali pada pemahaman subjek, dengan demikian terperinci bahwa keberadaan nilai tidak tergantung pada kemampuan insan untuk menangkap dan merasakannya. Keberadaan ini bagi Max Scheler merupakan suatu intuisi dasar.
Max Scheler juga menolak ketergantungan nilai pada realitas kehidupan. Ia menyebutkan bahwa kalau nilai tergantung pada kehidupan, hal ini akan meniadakan kemungkinan untuk sanggup menambahkan nilai pada kehidupan itu sendiri. Kehidupan merupakan suatu fakta, yang tidak dengan sendirinya terkait dengan nilai. Nilai merupakan suatu yang ditambahkan untuk diwujudkan dalam kehidupan. Ia juga menolak teori yang mengakui relativitas histories nilai. Menurut Max Scheler relativitas histories mencoba mengasalkan nilai dari objek nilai histories yang merupakan hasil histories dan akibtanya nilai menjadi subjek bagi perubahan. Hal ini salah alasannya tidak memperhitungkan ketidak ketergantungan nilai, dan mencampuradukkan antara objek atau barang bernilai dengan nilai yang mempunyai standar berbeda. Nilai harus dipahami sebagi yang bersifat absolute, tetap dan tidak berubah serta tidak tergantung pada dunia indrawi yang selalu berubah dalam sejarah.
Max Scheler juga beropini bahwa suatu nilai tidak sanggup direduksikan atau dikembalikan pada ungkapan suatu perasaan. Kita kerap memahami nilai sebagai yang tidak tergantung pada perasaan yang kita alam. Dengan demikian kita sanggup menangkap keberadaan suatu nilai moral pada musuh kita secara objektif kita tidak mesti memberi nilai moral negatif pada musuh kita.
Max Scheler tidak percaya bahwa nilai harus dicari dalam kenyataan objek ideal sebagaiman bilangan dan gambar geometris berada. Benarlah bahwa konsep kebaikan hati konsep keindahan konsep kesenangan dan konsep lainya berada pada kenyataan ideal sedangkan nilai moral serta nilai artinnya tidak dibatasi keberadaannya pada konsep atau wilayah pengertian ideal. Menurut Max Scheler perbedaan harus dibuat antara konsep wacana suatu nilai dengan nilainya itu sendiri, contohnya anak yang berumur enam bulan sanggup mengalami nilai kebaikan hati ibunya, meskipun belum mempunyai suatu konsep wacana kebaikan. Jelas disini bahwa yang dialami dan dirasakan anak tadi bukan konsep nilai kebaikan melainkan nilai kebaikan. Sebaliknya, Plato menolak keberadaan nilai negatif dengan memperhatikan kaburukan yang hanya merupakan penampakan dihadapan realitas kebaikan yang sepenuh-penuhnya.
Semua nilai estetik intinya ialah nilai objek merupakan nilai yang menempel pada realitas bersangkutan realitas estetik semacam itu ada sebagai suatu yang tampak. Hal tersebut merupakan nilai objek alasannya mempunyai keserupaan dengan gambar yang diintuisi yang ditangkap dan dirasakan secara eksklusif dari realita bersangkutan. Dilain pihak, nilai etis ialah nilai yang membawahnya tidak pernah sebagai objek alasannya secara hakiki berada dalam dunia peribadi. Baik pribadi maupun tindakan tidak pernah merupakan objek bagi kita. Dan kalau kita cenderung mengobjektivikasikan insan dengan cara apa pun, maka mnausia sebagai pembawa nilai moral akan kehilangan artinya maknanya. Nilai budbahasa dimiliki oleh pribadi pembawa nilai sebagai sesuatu yang faktual mengenai dan kuat pada pribadi bersangkutan, tidak hanya sekedar merupakan objek citra saja.
Nilai pribadi berkaitan dengan pribadi sendiri tanpa mediator apa pun, sedangkan nilai barang menyangkut kehadiran nilai dalam hal bernilai. Hal bernilai mungkin material (hal yang menyenangkan, hal yang berguna), vital (segala hal yang bersifat ekonomis), atau spiritual (ilmu pengetahuan dan seni) yang juga disebut budaya. Berbeda dengan nilai-nilai barang tersebut yang menempel pada barang-barang bernilai, terdapat dua jenis nilai yang dimiliki dan menempel pada pribadi manusia, yaitu nilai pribadi itu sendiri, dan nilai keutamaan. Dalam pengertian ini, nilai pribadi lebih tinggi dari pada nilai-nilai barang lantaran nilai pribadi terletak dan mebentuk hakikat atau esensi pribadi yang bersangkutan.
Masih ada pembawa nilai lainnya, yaitu tindakan (tindakan memahami, mencintai, membenci, dan menginginkan), fungsi (pendengaran, penglihatan), dan jawaban atau reaksi (bergembira akan sesuatu). Pembawa nilai yang terakhir ini juga memuat jawaban terhadap pribadi manusia, menyerupai ikut merasakan, balas dendam, yang berbeda dengan tindakan spontan. Ketiga pembawa nilai ini termasuk dalam nilai pribadi. Ketigannya mempunyai korelasi hierarkis (bertingkat). Nilai tindakan lebih tinggi dari pada nilai fungsi, dan kedua nilai ini lebih tinggi dari pada nilai tanggapan.
Karena seluruh nilai intinya berada dalam suatu susunan hierarki (tingkatan), yaitu berada dalam korelasi satu sama lain sebagai sebagai yang lebih tinggi atau lebih rendah, dan lantaran hubungan-hubungan ini sanggup dipahami hanya dalam tindakan preferensi atau tindakan penolakan, maka perasaan akan nilai mempunyai dasarnya pada tindakan preferensi. Susunan tingkatan nilai tidak pernah sanggup diketahui didekdusikan atau dijabarkan secara logis. Nilai manakah lebih tinggi hanya sanggup diketahui melalui tindakan preferensi atau mendahulukan atau mengunggulkan atau tindakan meremehkan dengan menempatkan di tingkat lebih rendah.
Hierarki nilai terdiri dari empat tingkatan, yaitu;
1. Nilai Kesenangan.
Pada tingkat terendah, kita sanggup menemukan formasi nilai- nilai kesenangan dan nilai kesusahan, atau kenikmatan dan kepedihan. Tingkatan nilai ini berkaitan dengan fungsi dari perasaan inderawi, yaitu rasa nikmat dan rasa sakit atau pedih. Rumusan bahwa kesenangan lebih disukai dari pada ketidaksenangan tidak ditetapkan menurut pengamatan atau induksi (berdasarkan pengalaman empiris indrawi), tetapi merupakan apriori (pengalaman yang mendahului serta tidak menurut pada pengamatan empiris inderawi) dan sudah termuat dalam inti nilai tersebut. Secara apriori sanggup dipastikan bahwa setiap orang akan menentukan yang menyenangkan dari pada yang tidak menyenangkan.
2. Nilai Vitalitas Atau Kehidupan.
Yang terdiri dari nilai-nilai rasa kehidupan, meliputi yang luhur, halus, atau lembut sampai yang berangasan atau biasa, dan juga meliputi yang anggun (dalam arti istimewa) yang berlawanan dengan yang jelek. Nilai-nilai yang diturunkan dari tingkatan ini meliputi kesejahteraan pada umumnya, baik pribadi maupun komunitas. Keadaan yang terkait ialah kesehatan, vitalitas, penyakit, lanjut usia, lemah, dan rasa mendekati kematian. Nilai vitalitas menghadirkan perasaan yang sama sekali tidak tergantung, serta tidak sanggup direduksi atau dikembalikan baik pada tingkatan nilai yang lebih tinggi (nilai spiritual) atau pada yang tingkatan nilai yang lebih rendah (nilai kegunaan atau kesenangan).
3. Nilai-Nilai Spiritual
Yang mempunyai sifat tidak tergantung pada seluruh lingkungan badaniah serta lingkungan alam sekitar. Tingkatan nilai ini mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada nilai kehidupan sanggup terlihat dengan terperinci bahwa orang wajib untuk mengorbankan nilai vitalitas demi nilai spiritual ini. Kita menangkap spiritual dengan rasa spiritual dan dalam tindakan preferensi spiritual yaitu menyayangi dan membenci. Perasaan dan tindak spiritual berbeda dengan fungsi vital serta tidak sanggup direduksi atau dikembalikan pada tingkat biologis. Jenis pokok dari nilai spiritual adalah:
a. Nilai Estetis, yang berkaitan dengan keindahan dan kejelekan
b. Nilai benar dan salah atau nilai adil dan tidak adil, yang merupaka dasar utama bagi bagi suatu tatanan hokum objektif; dan
c. Nilai dari pengetahuan murni demi dirinya sendiri, yang dicoba filsafat untuk diwujudkannya.
4. Nilai kesucian dan nilai keprofanan.
Nilai ini hanya tampak pada pada kita dalam objek yang dituju sebagai objek absolute. Tingkatan nilai kesucian ini tidak tergantung pada perbedaan waktu dan perbedaan orang yang membawannya. Keadaan perasaan yang berkaitan dengan nilai-nilai ini ialah rasa terberkati dan rasa putus impian yang secara terperinci harus dibedakan dengan sekedar rasa bahagia dan susah. Rasa terberkati dan putus impian mencerminkan serta mengukur pengalaman insan akan kedekatannya serta jaraknya dari yang suci. Tanggapan yang biasannya diberikan terhadap tongkatan nilai spiritual ini ialah beriman dan tidak beriman, kagum, memuji, dan menyembah. Tindakan yang terjadi dalam mencapai nilai kekudusan ialah suatu jenis cinta khusus yang secara hakikiterarah pada pribadi. Dengan demikian, tingkatan nilai ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi. Nilai-nilai turunannya ialah nilai-nilai barang dalam pemujaan sakramen dan bentuk-bentuk ibadat, sejauh terkait dengan pribadi yang dipuja.
Bagi Max Scheler, korelasi hierarkis nilai-nilai yang tersensun dari tingkat nilai kesenagan sampai nilai kekudusan bersifat apriori (sebagai yang memang adanya demikian semenjak awal sebelum ditemukan dan dialami manusia) dengan demikian mendahului setiap keterjalinan lainnya yang ada misalanya keterjalinan dalam pedoman dan pemanfaaatan yang dilakukan oleh insan ini sanggup diterapkan pada objek-objek bernilai yaitu pada nilai-nilai yang terwujud dalam objek-objek bersangkutan.
Keempat tingkatan nilai yang telah digambarkan diatas tidak memasukkan nilai moral baik dan jahat. Alasan Max Scheler ialah bahwa nilai-nilai moral berada yang berbeda pada segi yang berbeda. Nilai moral ditemukan dalam perwujudan nilai-nilai nonmoral. Nilai moral menempel pada tingkatan yang mewujudkan nilai-nilai lainya dalam tata tertip yang benar. Kebaikan moral ialah keinginan untuk mewujudkan nilai lebih tinggi atau nilai tertinggi, sedang kejahatan moral ialah menentukan nilai yang lebih rendah atau nilai yang terendah. Tindakan baik secara moral ialah tindakan mewujudkan nilai yang dimaksudkannya sebagai nilai yang lebih tinggi, serta menolak nilai yang lebih rendah. Sedankan tindakan jahat ialah tindakan yang menolak nilai yang lebih tinggi, dan mewujudkan nilai yang lebih rendah. Nilai moral baik tidak pernahmerupakan isi atau materi bagi tindakan untuk mewujudkan kehendak. Nilai baik tidak pernah dimaksud sebagai tujuan tindakan moral kita. Nilai ini hanya tampak di atas punggung tindakan lainnya yang mewujudkan nilai positif lebih tinggi.
Menurut Max Scheler, model merupakan rangsangan yang sangat efisien untuk kebaikan dan merupakan sumber yang sangat penting bagi perkembangan dan perubahan dalam bidang moral. Tidak suatu pun di dunia ini yang mendorongseorang person baik orsinal, eksklusif dan pasti, kecuali pengamatan yang penuh pengertian terhadap seorang person yang baik dalm kebaikannya. Seseorang dibuat dan dibangun dalam kebiasaan moral serta keberadaannya lebih dengan cara mengikuti suatu rujukan dari pada dengan mengikuti norma- norma.