Yang Dimaksud Pengertian Poligami Dan Dasar Hukumnya
Pengertian Poligami - Kata Poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu Polus artinya banyak dan gamein artinya kawin. Dengan demikian, ...
https://tutorialcarapintar.blogspot.com/2019/02/yang-dimaksud-pengertian-poligami-dan.html
Pengertian Poligami - Kata Poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu Polus artinya banyak dan gamein artinya kawin. Dengan demikian, poligami yakni kawin banyak. Artinya, seorang pria mempunyai beberapa isteri pada ketika yang sama. Dalam bahasa Arab, poligami disebut ta’addud al-zaujat, yang artinya perbuatan seorang pria mengumpulkan dalam tanggungannya dua hingga empat orang isteri, dihentikan lebih darinya.
Menurut istilah, poligami yakni perkawinan dalam waktu yang sama, seorang dengan dua orang atau lebih lawan jenisnya, sanggup seorang pria dengan lebih dari seorang perempuan atau seorang perempuan dengan lebih dari seorang laki-laki. Kata poligami sering disalah artikan dengan perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari seorang perempuan (poligini). Definisi lain mengartikan bahwa poligami merupakan ikatan perkawinan diamana salah satu pihak mempunyai atau menikahi beberapa lawan jenis dalam waktu yang tidak berbeda.
Musdah Mulia mendefinisikan poligami sebagai ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu isteri dalam waktu yang sama.
Sedangkan dalam tafsir Al-Manar, Muhammad Rasyid Rida beropini bahwa poligami adalah Khilaf Al-Ashl Al-Thabi’i, pada asalnya seorang pria hanya mempunyai seorang isteri saja, sebab keadaan darurat ketika pria banyak yang mati sebab perang dibolehkan poligami dengan syarat tidak berbuat aniaya atau zalim.
Poligami berdasarkan Kompilasi Hukum Islam yakni seorang suami beristeri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan, terbatas hanya hingga empat orang isteri. Jadi, yang dimaksud dengan poligami yakni perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dengan lebih dari seorang isteri dalam waktu yang sama.
Allah berfirman dalam al-Quran surat An-Nisa’ (4): 3
Artinya: “Dan jikalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kau mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kau senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jikalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil , maka (kawinilah) seorang saja , atau budak-budak yang kau miliki. Yang demikian itu yakni lebih erat kepada tidak berbuat aniaya.” [QS.An-Nisa’ (4):3]
Ayat tersebut berdasarkan pandangan Wahbah al-Zuhaily dalam kitab Al-Tafsir Al-Munir bahwa seorang suami diperkenankan untuk melaksanakan poligami jikalau ia bisa berbuat adil kepada isteri-isterinya. Akan tetapi, seandainya tidak bisa atau bahkan tidak bisa untuk berbuat adil terhadap isteri-isterinya, maka Islam tidak memperbolehkan baginya untuk berpoligami.
Senada dengan al-Zuhaily, Amir Syarifuddin menyampaikan bahwa ayat tersebut memperlihatkan beberapa batasan antara lain: batas maksimal empat orang isteri dan juga hanya boleh dilakukan bagi orang-orang yang bisa berbuat adil. Oleh sebab itu, jikalau syarat tersebut tidak terpenuhi maka tidak diperbolehkan berpoligami.
Dalil dari Sunnah Rasulullah saw perihal poligami yakni hadits yang diriwayatkan oleh Qais bin Al-Harits ra, dia berkata:
“ketika masuk Islam, saya mempunyai delapan isteri. Saya menemui Rasulullah saw dan menceritakan keadaan saya, kemudian dia bersabda: pilih empat diantara mereka”
Sedangkan dalil dari Ijma’ ialah kesepakatan kaum muslimin perihal kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka semenjak masa Rasulullah saw hingga hari ini. Para sahabat utama Nabi melaksanakan poligami ibarat Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, dan Muaz bin Jabal ra.. Poligami juga dilakukan oleh hebat fiqih tabi’in (generasi pasca sahabat Nabi), dan lain-lain yang terbilang tidak banyak. Kesimpulannya bahwa generasi salaf(terdahulu) dan khalaf (kini) dari umat Islam telah bersepakat melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal.
Berkaitan dengan poligami, secara implisit dasar aturan dan regulasi mengenai poligami di Indonesia termaktub dalam banyak sekali peraturan perundang-undanagn perkawinan. Regulasi tersebut, terdapat pada Undang-Undang No.1 Tahun 1974 perihal Perkawinan pada pasal 4 dan 5. Berikut juga mengenai tata pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 perihal Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 perihal Perkawinan pecahan VIII pasal 40-44. Kemudian juga dalam Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1983 mengenai Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil pasal 4 dan 5. Selain itu diterangkan juga melalui Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 perihal Penyebaran Kompilasi Hukum Islam pecahan IX pasal 55-59 yang dikenal dengan KHI. Di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, telah diatur mekanisme poligami, mulai dari batasan maksimal jumlah isteri, alasan atau motif yang dijadikan dasar poligami, persyaratan-persyaratan hingga mekanisme yang harus ditempuh dan dipenuhi oleh suami yang akan poligami.
Prinsip perkawinan berdasarkan Undang –Undang Perkawinan tahun 1974 intinya adalah monogami, sedangkan poligami merupakan pengecualian. Prinsip Hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang muba>h. Kebolehan berpoligami merupakan pengecualian dengan syarat dan ketentuan yang tidak ringan. Seorang suami sanggup melaksanakan poligami atas ijin pengadilan agama apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pengadilan agama dalam menilik perkara ijin poligami berpedoman pada beberapa hal, antara lain:
1. Permohonan ijin poligami harus bersifat kontensius, pihak isteri didudukkan sebagai termohon.
2. Alasan ijin poligami yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bersifat alternatif, maksudnya bila salah satu persyaratan tersebut sanggup dibuktikan, pengadilan agama atau Mahkamah Syariah sanggup memberi ijin poligami.
3. Persyaratan ijin poligami yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bersifat kumulatif, maksudnya pengadilan agama atau Mahkamah Syariah hanya sanggup memberi ijin poligami apabila semua persyaratan tersebut telah terpenuhi.
4. Harta Bersama dalam hal suami beristeri lebih dari satu orang, telah diatur dalam Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi pasal tersebut mengandung ketidakadilan, sebab dalam keadaan tertentu sanggup merugikan isteri yang dinikahi lebih dahulu, oleh kesannya pasal tersebut harus dipahami sebagaimana diuraikan dalam angka (5) di bawah ini.
5. Harta yang diperoleh oleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan isteri pertama, merupakan harta bersama milik suami dan isteri pertama. Sedangkan harta yang diperoleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan isteri kedua dan selama itu pula suami masih terikat perkawinan dengan isteri pertama, maka harta tersebut merupakan harta bersama milik suami isteri, isteri pertama dan isteri kedua. Demikian pula halnya sama dengan perkawinan kedua apabila suami melaksanakan perkawinan dengan isteri ketiga dan keempat.
6. Ketentuan harta bersama tersebut dalam angka (5) tidak berlaku atas harta yang diperuntukkan terhadap isteri kedua, ketiga dan keempat (seperti rumah, perabotan rumah dan pakaian) sepanjang harta yang diperuntukkan isteri kedua, ketiga dan keempat tidak melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta bersama yang diperoleh dengan isteri kedua, ketiga dan keempat.
7. Bila terjadi pembagian harta bersama bagi suami yang mempunyai isteri lebih dari satu orang sebab maut atau perceraian, cara perhitungannya yakni sebagai berikut : Untuk isteri pertama 1/2 dari harta bersama dengan suami yang diperoleh selama perkawinan, ditambah 1/3 dari harta bersama yang diperoleh suami bersama dengan isteri pertama dan isteri kedua, ditambah 1/4 dari harta bersama yang diperoleh suami bersama dengan isteri ketiga, isteri kedua dan isteri pertama, ditambah 1/5 dari harta bersama yang diperoleh suami bersama isteri keempat, ketiga, kedua dan pertama.
8. Harta yang diperoleh oleh isteri pertama, kedua, ketiga dan keempat merupakan harta bersama dengan suaminya, kecuali yang diperoleh suami/isteri dari hadiah atau warisan.
9. Pada ketika permohonan ijin poligami, suami wajib pula mengajukan permohonan penetapan harta bersama dengan isteri sebelumnya, atau harta bersama dengan isteri-isteri sebelumnya. Dalam hal suami tidak mengajukan permohonan penetapan harta besama yang digabung dengan permohonan ijin poligami, isteri atau isteri-isterinya sanggup mengajukan rekonvensi penetapan harta bersama.
10. Dalam hal suami tidak mengajukan permohonan penetapan harta bersama yang digabungkan dengan permohonan ijin poligami sedangkan isteri terdahulu tidak mengajukan rekonvensi penetapan harta bersama dalam perkara permohonan ijin poligami sebagaimana dimaksud dalam angka (9) di atas, permohonan penetapan ijin poligami harus dinyatakan tidak sanggup diterima.
Menurut istilah, poligami yakni perkawinan dalam waktu yang sama, seorang dengan dua orang atau lebih lawan jenisnya, sanggup seorang pria dengan lebih dari seorang perempuan atau seorang perempuan dengan lebih dari seorang laki-laki. Kata poligami sering disalah artikan dengan perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari seorang perempuan (poligini). Definisi lain mengartikan bahwa poligami merupakan ikatan perkawinan diamana salah satu pihak mempunyai atau menikahi beberapa lawan jenis dalam waktu yang tidak berbeda.
Musdah Mulia mendefinisikan poligami sebagai ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu isteri dalam waktu yang sama.
Poligami |
Sedangkan dalam tafsir Al-Manar, Muhammad Rasyid Rida beropini bahwa poligami adalah Khilaf Al-Ashl Al-Thabi’i, pada asalnya seorang pria hanya mempunyai seorang isteri saja, sebab keadaan darurat ketika pria banyak yang mati sebab perang dibolehkan poligami dengan syarat tidak berbuat aniaya atau zalim.
Poligami berdasarkan Kompilasi Hukum Islam yakni seorang suami beristeri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan, terbatas hanya hingga empat orang isteri. Jadi, yang dimaksud dengan poligami yakni perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dengan lebih dari seorang isteri dalam waktu yang sama.
Dasar Hukum Poligami
Menurut aturan asalnya, poligami adalah mubah (boleh), Allah SWT. membolehkan pria berpoligami hingga empat orang isteri dengan syarat dia bisa berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Jika suami khawatir berbuat zalim (tidak bisa adil), maka haram hukumnya melaksanakan poligami.Allah berfirman dalam al-Quran surat An-Nisa’ (4): 3
Artinya: “Dan jikalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kau mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kau senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jikalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil , maka (kawinilah) seorang saja , atau budak-budak yang kau miliki. Yang demikian itu yakni lebih erat kepada tidak berbuat aniaya.” [QS.An-Nisa’ (4):3]
Ayat tersebut berdasarkan pandangan Wahbah al-Zuhaily dalam kitab Al-Tafsir Al-Munir bahwa seorang suami diperkenankan untuk melaksanakan poligami jikalau ia bisa berbuat adil kepada isteri-isterinya. Akan tetapi, seandainya tidak bisa atau bahkan tidak bisa untuk berbuat adil terhadap isteri-isterinya, maka Islam tidak memperbolehkan baginya untuk berpoligami.
Senada dengan al-Zuhaily, Amir Syarifuddin menyampaikan bahwa ayat tersebut memperlihatkan beberapa batasan antara lain: batas maksimal empat orang isteri dan juga hanya boleh dilakukan bagi orang-orang yang bisa berbuat adil. Oleh sebab itu, jikalau syarat tersebut tidak terpenuhi maka tidak diperbolehkan berpoligami.
Dalil dari Sunnah Rasulullah saw perihal poligami yakni hadits yang diriwayatkan oleh Qais bin Al-Harits ra, dia berkata:
“ketika masuk Islam, saya mempunyai delapan isteri. Saya menemui Rasulullah saw dan menceritakan keadaan saya, kemudian dia bersabda: pilih empat diantara mereka”
Sedangkan dalil dari Ijma’ ialah kesepakatan kaum muslimin perihal kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka semenjak masa Rasulullah saw hingga hari ini. Para sahabat utama Nabi melaksanakan poligami ibarat Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, dan Muaz bin Jabal ra.. Poligami juga dilakukan oleh hebat fiqih tabi’in (generasi pasca sahabat Nabi), dan lain-lain yang terbilang tidak banyak. Kesimpulannya bahwa generasi salaf(terdahulu) dan khalaf (kini) dari umat Islam telah bersepakat melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal.
Berkaitan dengan poligami, secara implisit dasar aturan dan regulasi mengenai poligami di Indonesia termaktub dalam banyak sekali peraturan perundang-undanagn perkawinan. Regulasi tersebut, terdapat pada Undang-Undang No.1 Tahun 1974 perihal Perkawinan pada pasal 4 dan 5. Berikut juga mengenai tata pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 perihal Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 perihal Perkawinan pecahan VIII pasal 40-44. Kemudian juga dalam Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1983 mengenai Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil pasal 4 dan 5. Selain itu diterangkan juga melalui Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 perihal Penyebaran Kompilasi Hukum Islam pecahan IX pasal 55-59 yang dikenal dengan KHI. Di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, telah diatur mekanisme poligami, mulai dari batasan maksimal jumlah isteri, alasan atau motif yang dijadikan dasar poligami, persyaratan-persyaratan hingga mekanisme yang harus ditempuh dan dipenuhi oleh suami yang akan poligami.
Prinsip perkawinan berdasarkan Undang –Undang Perkawinan tahun 1974 intinya adalah monogami, sedangkan poligami merupakan pengecualian. Prinsip Hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang muba>h. Kebolehan berpoligami merupakan pengecualian dengan syarat dan ketentuan yang tidak ringan. Seorang suami sanggup melaksanakan poligami atas ijin pengadilan agama apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pengadilan agama dalam menilik perkara ijin poligami berpedoman pada beberapa hal, antara lain:
1. Permohonan ijin poligami harus bersifat kontensius, pihak isteri didudukkan sebagai termohon.
2. Alasan ijin poligami yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bersifat alternatif, maksudnya bila salah satu persyaratan tersebut sanggup dibuktikan, pengadilan agama atau Mahkamah Syariah sanggup memberi ijin poligami.
3. Persyaratan ijin poligami yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bersifat kumulatif, maksudnya pengadilan agama atau Mahkamah Syariah hanya sanggup memberi ijin poligami apabila semua persyaratan tersebut telah terpenuhi.
4. Harta Bersama dalam hal suami beristeri lebih dari satu orang, telah diatur dalam Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi pasal tersebut mengandung ketidakadilan, sebab dalam keadaan tertentu sanggup merugikan isteri yang dinikahi lebih dahulu, oleh kesannya pasal tersebut harus dipahami sebagaimana diuraikan dalam angka (5) di bawah ini.
5. Harta yang diperoleh oleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan isteri pertama, merupakan harta bersama milik suami dan isteri pertama. Sedangkan harta yang diperoleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan isteri kedua dan selama itu pula suami masih terikat perkawinan dengan isteri pertama, maka harta tersebut merupakan harta bersama milik suami isteri, isteri pertama dan isteri kedua. Demikian pula halnya sama dengan perkawinan kedua apabila suami melaksanakan perkawinan dengan isteri ketiga dan keempat.
6. Ketentuan harta bersama tersebut dalam angka (5) tidak berlaku atas harta yang diperuntukkan terhadap isteri kedua, ketiga dan keempat (seperti rumah, perabotan rumah dan pakaian) sepanjang harta yang diperuntukkan isteri kedua, ketiga dan keempat tidak melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta bersama yang diperoleh dengan isteri kedua, ketiga dan keempat.
7. Bila terjadi pembagian harta bersama bagi suami yang mempunyai isteri lebih dari satu orang sebab maut atau perceraian, cara perhitungannya yakni sebagai berikut : Untuk isteri pertama 1/2 dari harta bersama dengan suami yang diperoleh selama perkawinan, ditambah 1/3 dari harta bersama yang diperoleh suami bersama dengan isteri pertama dan isteri kedua, ditambah 1/4 dari harta bersama yang diperoleh suami bersama dengan isteri ketiga, isteri kedua dan isteri pertama, ditambah 1/5 dari harta bersama yang diperoleh suami bersama isteri keempat, ketiga, kedua dan pertama.
8. Harta yang diperoleh oleh isteri pertama, kedua, ketiga dan keempat merupakan harta bersama dengan suaminya, kecuali yang diperoleh suami/isteri dari hadiah atau warisan.
9. Pada ketika permohonan ijin poligami, suami wajib pula mengajukan permohonan penetapan harta bersama dengan isteri sebelumnya, atau harta bersama dengan isteri-isteri sebelumnya. Dalam hal suami tidak mengajukan permohonan penetapan harta besama yang digabung dengan permohonan ijin poligami, isteri atau isteri-isterinya sanggup mengajukan rekonvensi penetapan harta bersama.
10. Dalam hal suami tidak mengajukan permohonan penetapan harta bersama yang digabungkan dengan permohonan ijin poligami sedangkan isteri terdahulu tidak mengajukan rekonvensi penetapan harta bersama dalam perkara permohonan ijin poligami sebagaimana dimaksud dalam angka (9) di atas, permohonan penetapan ijin poligami harus dinyatakan tidak sanggup diterima.