Apa Yang Dimaksud Pengertian Sopan Santun
Pengertian Akhlak - Sebelum hingga pada pengertian budbahasa lebih dahulu perlu diketahui bahwa kata akhlakitu bentuk jama dari kata “ al-...
https://tutorialcarapintar.blogspot.com/2019/10/apa-yang-dimaksud-pengertian-sopan.html
Pengertian Akhlak - Sebelum hingga pada pengertian budbahasa lebih dahulu perlu diketahui bahwa kata akhlakitu bentuk jama dari kata “al-Khuluku”, dan kata yang terakhir ini mengandung segi-segi yang sesuai dengan kata “al-Khalku” yang bermakna “kejadian”. Kedua kata tersebut berasal dari kata kerja “Khalaka” yang memiliki arti “menjadikan”.
Dalam pengertian sehari-hari “akhlak” umumnya disamakan artinya dengan arti kata “budi pekerti” atau “kesusilaan” atau “sopan santun” dalam bahasa Indonesia, dan tidak berbeda pula dengan arti kata “moral” atau “ethic” dalam bahasa Inggris. Pengertian budbahasa kerapkali disamakan dengan etika Islam.
Angkatan kata “budi pekerti” dalam bahasa Indonesia merupakan kata beragam dari kata “budi” dan “pekerti”. Perkataan budiberasal dari bahasa Sansekerta, bentuk isim fa’il atau alat, yang berarti “yang sadar” atau “yang menyadarkan” atau “alat kesadaran”.
Bentuk mashdarnya (momenverbal) budh yang berarti “kesadaran”. Sedang bentuk maf’ulnya (obyek) yaitu budha artinya “yang disadarkan”. Pekerti berasal dari bahasa Indonesia sendiri yang berarti kelakuan.
Menurut terminologi: kata “budi pekerti” yang terdiri dari kata budi dan pekerti, “budi” ialah yang ada pada manusia, yang berafiliasi dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, ratio yang disebut karakter. Pekerti ialah apa yang terlihat pada manusia, alasannya didorong oleh perasaan hati, yang disebut behavior.
Kaprikornus budi pekerti ialah merupakan perpaduan dari hasil ratio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laris manusia.
Sementara itu Ibrohim Anis menyatakan bahwa yang disebut “akhlak” ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pedoman dan pertimbangan. Sedangkan Imam Gazali dalam bukunya “Ihya Ulumuddin” menyatakan budbahasa ialah sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang menjadikan segala perbuatan dengan mudah dan mudah tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan.
Ibnu Maskawaih menyatakan bahwa yang disebut “akhlak” ialah keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dulu). Sedangkan ulama-ulama yang lain memperlihatkan definisi sebagai berikut: ”akhlak ialah citra jiwa yang tersembunyi yang timbul pada insan dikala menjalankan perbuatan-perbuatan yang tidak dibuat-buat atau dipaksa-paksakan”.
Dengan demikian, ruang lingkup akhlaq meliputi hal-hal sebagai berikut: Pertama, contoh relasi insan dengan Allah, ibarat mentauhidkan Allah dan menghindari syirik, bertaqwa kepada-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya melalui berdo’a, berdzikir diwaktu siang ataupun malam, baik dalam keadaan berdiri, duduk, ataupun berbaring, dan bertawakal kepada-Nya. Kedua, contoh relasi insan dengan Rasulullah SAW, yaitu: menegakkan sunnah Rasul menziarahi kuburnya di Madinah, dan membacakan sholawat. Ketiga, contoh relasi insan dengan dirinya sendiri, seperti: menjaga kesucian diri dari sifat rakus dan mengumbar nafsu, menyebarkan keberanian (syaja’ah) dalam memberikan yang hak, memberikan kebenaran, dan memberantas kedzaliman, menyebarkan kebijaksanaan dengan memberantas kebodohan dan jumud, bersabar tatkala menerima petaka dan dalam kesulitan, bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah, rendah hati atau tawadhu’ dan tidak sombong, menahan diri dari melaksanakan larangan-larangan Allah atau iffah, menahan diri dari murka walaupun hati tetap dalam keadaan murka atau hilmun, memaafkan orang, jujur atau amanah, dan merasa cukup dengan apa-apa yang telah diperoleh dengan susah payah atau qana’ah. Keempat, contoh relasi dengan keluarga, seperti: berbakti kepada kedua orang renta atau birul walidain, baik dengan tutur kata, pemberian nafkah, ataupun do’a, memberi pertolongan material ataupun moral kepada karib kerabat atau aati dzal qurba, (suami) memberi nafkah kepada istri, anak dan anggota keluarga lain, (suami) mendidik istri dan anak biar terhindar dari api neraka, dan (istri) mentaati suami. Kelima, contoh relasi dengan masyarakat. Dalam kontek kepemimpinan, pola-pola relasi yang perlu dikembangkan adalah: menegakkan keadilan, berbuat ihsan, menjunjung tinggi musyawarah, memandang kesedarajatan manusia, dan membela orang-orang lemah (seperti orang miskin, orang yang tersiksa, dan orang yang tidak berpendidikan), mentaati pemimpin, dan berperan serta dalam kegiatan-kegiatan kepemimpinan. Sementara sebagai anggota masyarakat perlu menjunjung tinggi ukhuwah dalam seiman dan ukhuwah kemanusiaan, saling tolong menolong, pemurah dan penyantun, penepati janji, saling wasiat dalam kebenaran dan ketakwaan.
Dengan demikian, bekerjsama budbahasa telah mengatasi aturan syariat yang lebih mengacu kepada norma sikap lahiriyah. Apa yang baik berdasarkan syariat belum tentu baik berdasarkan akhlak. Sebaliknya apa yang baik berdasarkan budbahasa sering tidak terlihat oleh syariat. Misalnya, seseorang yang secara lahiriyah telah melaksanakan ibadah sholat, tidak berarti ia sudah niscaya orang baik berdasarkan akhlak. Dengan katalain budbahasa lebih melihat motivasi suatu tindakan, sedangkan syariat lebih melihat bentuk praktisnya. Oleh alasannya itu berdasarkan budbahasa segala motivasi tindakan harus diacukan kepada Tuhan (ikhlas).
Kemudian untuk menilai sesuatu perbuatan apakah baik atau buruk, berdasarkan Islam harus dilihat dari dua segi: Pertama, apakah baik atau tidak. Kedua, niat melaksanakan perbuatan tersebut. Suatu perbuatan baik dalam pandangan umum dan agama tetapi dengan niat yang tidak baik, maka tidak akan dikatakan baik.
Dalam pengertian sehari-hari “akhlak” umumnya disamakan artinya dengan arti kata “budi pekerti” atau “kesusilaan” atau “sopan santun” dalam bahasa Indonesia, dan tidak berbeda pula dengan arti kata “moral” atau “ethic” dalam bahasa Inggris. Pengertian budbahasa kerapkali disamakan dengan etika Islam.
Apa Yang Dimaksud Pengertian Sopan Santun
Menurut etimologi, kata budbahasa berasal dari bahasa Arab bentuk jama dari mufrodnya khuluq, yang berarti “budi pekerti” sinonimnya etika dan moral. Etika berasal dari bahasalatin, etos yang berarti “kebiasaan”. Moral berasal dari bahasa latin juga mores juga berarti “kebiasaan”.Angkatan kata “budi pekerti” dalam bahasa Indonesia merupakan kata beragam dari kata “budi” dan “pekerti”. Perkataan budiberasal dari bahasa Sansekerta, bentuk isim fa’il atau alat, yang berarti “yang sadar” atau “yang menyadarkan” atau “alat kesadaran”.
Bentuk mashdarnya (momenverbal) budh yang berarti “kesadaran”. Sedang bentuk maf’ulnya (obyek) yaitu budha artinya “yang disadarkan”. Pekerti berasal dari bahasa Indonesia sendiri yang berarti kelakuan.
Menurut terminologi: kata “budi pekerti” yang terdiri dari kata budi dan pekerti, “budi” ialah yang ada pada manusia, yang berafiliasi dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, ratio yang disebut karakter. Pekerti ialah apa yang terlihat pada manusia, alasannya didorong oleh perasaan hati, yang disebut behavior.
Kaprikornus budi pekerti ialah merupakan perpaduan dari hasil ratio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laris manusia.
Pengertian Akhlak |
Sementara itu Ibrohim Anis menyatakan bahwa yang disebut “akhlak” ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pedoman dan pertimbangan. Sedangkan Imam Gazali dalam bukunya “Ihya Ulumuddin” menyatakan budbahasa ialah sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang menjadikan segala perbuatan dengan mudah dan mudah tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan.
Ibnu Maskawaih menyatakan bahwa yang disebut “akhlak” ialah keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dulu). Sedangkan ulama-ulama yang lain memperlihatkan definisi sebagai berikut: ”akhlak ialah citra jiwa yang tersembunyi yang timbul pada insan dikala menjalankan perbuatan-perbuatan yang tidak dibuat-buat atau dipaksa-paksakan”.
Dengan demikian, ruang lingkup akhlaq meliputi hal-hal sebagai berikut: Pertama, contoh relasi insan dengan Allah, ibarat mentauhidkan Allah dan menghindari syirik, bertaqwa kepada-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya melalui berdo’a, berdzikir diwaktu siang ataupun malam, baik dalam keadaan berdiri, duduk, ataupun berbaring, dan bertawakal kepada-Nya. Kedua, contoh relasi insan dengan Rasulullah SAW, yaitu: menegakkan sunnah Rasul menziarahi kuburnya di Madinah, dan membacakan sholawat. Ketiga, contoh relasi insan dengan dirinya sendiri, seperti: menjaga kesucian diri dari sifat rakus dan mengumbar nafsu, menyebarkan keberanian (syaja’ah) dalam memberikan yang hak, memberikan kebenaran, dan memberantas kedzaliman, menyebarkan kebijaksanaan dengan memberantas kebodohan dan jumud, bersabar tatkala menerima petaka dan dalam kesulitan, bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah, rendah hati atau tawadhu’ dan tidak sombong, menahan diri dari melaksanakan larangan-larangan Allah atau iffah, menahan diri dari murka walaupun hati tetap dalam keadaan murka atau hilmun, memaafkan orang, jujur atau amanah, dan merasa cukup dengan apa-apa yang telah diperoleh dengan susah payah atau qana’ah. Keempat, contoh relasi dengan keluarga, seperti: berbakti kepada kedua orang renta atau birul walidain, baik dengan tutur kata, pemberian nafkah, ataupun do’a, memberi pertolongan material ataupun moral kepada karib kerabat atau aati dzal qurba, (suami) memberi nafkah kepada istri, anak dan anggota keluarga lain, (suami) mendidik istri dan anak biar terhindar dari api neraka, dan (istri) mentaati suami. Kelima, contoh relasi dengan masyarakat. Dalam kontek kepemimpinan, pola-pola relasi yang perlu dikembangkan adalah: menegakkan keadilan, berbuat ihsan, menjunjung tinggi musyawarah, memandang kesedarajatan manusia, dan membela orang-orang lemah (seperti orang miskin, orang yang tersiksa, dan orang yang tidak berpendidikan), mentaati pemimpin, dan berperan serta dalam kegiatan-kegiatan kepemimpinan. Sementara sebagai anggota masyarakat perlu menjunjung tinggi ukhuwah dalam seiman dan ukhuwah kemanusiaan, saling tolong menolong, pemurah dan penyantun, penepati janji, saling wasiat dalam kebenaran dan ketakwaan.
Dengan demikian, bekerjsama budbahasa telah mengatasi aturan syariat yang lebih mengacu kepada norma sikap lahiriyah. Apa yang baik berdasarkan syariat belum tentu baik berdasarkan akhlak. Sebaliknya apa yang baik berdasarkan budbahasa sering tidak terlihat oleh syariat. Misalnya, seseorang yang secara lahiriyah telah melaksanakan ibadah sholat, tidak berarti ia sudah niscaya orang baik berdasarkan akhlak. Dengan katalain budbahasa lebih melihat motivasi suatu tindakan, sedangkan syariat lebih melihat bentuk praktisnya. Oleh alasannya itu berdasarkan budbahasa segala motivasi tindakan harus diacukan kepada Tuhan (ikhlas).
Kemudian untuk menilai sesuatu perbuatan apakah baik atau buruk, berdasarkan Islam harus dilihat dari dua segi: Pertama, apakah baik atau tidak. Kedua, niat melaksanakan perbuatan tersebut. Suatu perbuatan baik dalam pandangan umum dan agama tetapi dengan niat yang tidak baik, maka tidak akan dikatakan baik.