Yang Dimaksud 7 Pengertian Zuhud Berdasarkan Ahli
Pengertian Zuhud - Lois Ma’luf menjelaskan bahwa arti zuhud berasal dari bahasa arab zahada artinya raghaba ‘anhu wataraka (benci dan menin...

https://tutorialcarapintar.blogspot.com/2019/02/yang-dimaksud-7-pengertian-zuhud.html
6. Al-Ghazali, misalnya, mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keterkaitan kepada dunia untuk kemudian menjauhinya dengan penuh kesadaran. Zuhud didefinisikan sebagai tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, kebanggaan atau celaan, lantaran keakrabannya dengan Tuhan. Al-Ghazali menyebut tiga tanda zuhud. Pertama, tidak bergembira dengan yang ada dan tidak bersedih lantaran ada yang hilang. Kedua, sama saja baginya orang yang mencela dan orang yang memujinya. Yang pertama ialah tanda zuhud dalam harta, sedangkan yang kedua tanda zuhud dalam kedudukan. Ketiga, hendaknya ia bersama Allah dan hatinya lebih didominasi oleh lezatnya ketaatan dan cinta Allah.
7. Dan yang terakhir ini ialah pendapat dari seorang zahid wanita yang sangat mengasihi Tuhannya, yaitu Rabi’ah al-Adawiyah. Ciri kezuhudannya ialah al-mahabbah(cinta). Menurut para sufi, al-mahabbah ialah suatu tingkatan tertinggi dalam tasawuf, lantaran mahabbah yang sejati itu tidak mengenal pamrih. Hal ini telah dibuktikan oleh Rabi’ah sendiri bahwa pengabdiannya kepada Tuhan bukan lantaran takut neraka dan ingin sorga-Nya, akan tetapi semata-mata cinta pada-Nya.
Itulah beberapa pendapat dari para tokoh Islam, dan kendati pun zuhud didefinisikan dengan redaksi yang berbeda, tetapi inti dan tujuan zuhud sama, yaitu tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir.Dunia harus ditempatkan sebagai sarana dan dimanfaatkan secara terbatas dan terkendali. Jangan hingga kenikmatan duniawi mengakibatkan susutnya waktu dan perhatian kepada tujuan yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan yang awet di hadirat Ilahi.
Dalam kamus besar ilmu pengetahuan dijelaskan bahwa zuhud merupakan tindakan meninggalkan sesuatu yang disayangi dan kemewahan duniawi seraya mengarahkan diri kepada dunia spiritual dan kebahagiaan akhirat. Seorang yang zuhud seharusnya hatinya tidak terbelenggu atau hatinya tidak terikat oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Dan tidak menjadikannya sebagai tujuan. Hanya sarana untuk mencapai derajat ketakwaan yang merupakan bekal untuk akhirat.
7. Dan yang terakhir ini ialah pendapat dari seorang zahid wanita yang sangat mengasihi Tuhannya, yaitu Rabi’ah al-Adawiyah. Ciri kezuhudannya ialah al-mahabbah(cinta). Menurut para sufi, al-mahabbah ialah suatu tingkatan tertinggi dalam tasawuf, lantaran mahabbah yang sejati itu tidak mengenal pamrih. Hal ini telah dibuktikan oleh Rabi’ah sendiri bahwa pengabdiannya kepada Tuhan bukan lantaran takut neraka dan ingin sorga-Nya, akan tetapi semata-mata cinta pada-Nya.
Itulah beberapa pendapat dari para tokoh Islam, dan kendati pun zuhud didefinisikan dengan redaksi yang berbeda, tetapi inti dan tujuan zuhud sama, yaitu tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir.Dunia harus ditempatkan sebagai sarana dan dimanfaatkan secara terbatas dan terkendali. Jangan hingga kenikmatan duniawi mengakibatkan susutnya waktu dan perhatian kepada tujuan yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan yang awet di hadirat Ilahi.
Dalam kamus besar ilmu pengetahuan dijelaskan bahwa zuhud merupakan tindakan meninggalkan sesuatu yang disayangi dan kemewahan duniawi seraya mengarahkan diri kepada dunia spiritual dan kebahagiaan akhirat. Seorang yang zuhud seharusnya hatinya tidak terbelenggu atau hatinya tidak terikat oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Dan tidak menjadikannya sebagai tujuan. Hanya sarana untuk mencapai derajat ketakwaan yang merupakan bekal untuk akhirat.
Sedangkan berdasarkan pendapat penulis sendiri bahwa zuhud itu ialah sikap yang harus diambil dan wajib dipraktekkan oleh setiap insan yang beriman, sehingga dalam kehidupannya akan muncul sifat-sifat yang terpuji. Dan perlu penulis ingatkan kembali bahwa hidup ini hanyalah sebentar, jadi janganlahmengedepankan kehidupan duniawi yang sifatnya fana ini. Jika hawa nafsu sudah sanggup dikendalikan maka fasilitas untuk mendekatkan diri kepada Allah akan sanggup tercapai.
Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 77, yang Artinya: “Katakanlah, ‘kesenangan dunia ini hanya sebentar dan alam abadi itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. An-Nisa’: 77)
Karena itu, di dalam bukunya yang berjudulTasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, M. Amin Syukur mengutip salahseorang tokoh sufi yang berjulukan Yahya bin Mu’adz, dia menyatakan bahwa sifat zuhud akan melahirkan kedermawanan. Zuhud digambarkan oleh al-Qur’an, surat al-Hadid ayat 23 Artinya: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kau jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kau jangan terlalu gembira terhadap apa yang telah diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Zuhud ialah instrumen terbaik dalam menyikapi dunia. Zuhud tidak identik dengan melarat. Bahkan, dalam sebuah riwayat dikatakan, bahwa orang yang berimanlah yang berhak mempunyai dunia. “Zahid ialah orang yang mempunyai dunia dan tidak dimiliki dunia,” demikian tegas Ali bin Abi Thalib. Yang kerap terjadi ialah kita dikontrol dunia, bukan kita yang mengontrol dunia. Itulah yang dikecam Islam. Dan kita maklum, lantaran sikap demikianlah yang pada gilirannya sanggup mengkondisikan orang yang berwatak tamak, rakus, dan egois, sebagaimana disinyalir dalam Al-Qur’an surat Al-Takatsur ayat 1-3.
Orang yang enggan menyunting zuhud dalam hidupnya, hakikatnya telah menjadi budak hawanafsunya. Padahal, “Hawa nafsu ialah musuh akal,” ujar Imam Ja’far Al-Shadiq.
Salah satu kiat biar kita sanggup hidup zuhud ialah dengan melazimkan muraqabah (mawas diri) dan muhasabah(introspeksi), di samping selalu memagari diri dari serbuan hawa nafsu dunia yang datangdari tiga penjuru: kesenangan (lahwun), permainan (la’bun), dan kesia-siaan (‘abats).
Muhasabah merupakan kunci bagi sejenis penahanan diri yang dikemukakan oleh Hasan al-Basri, di mana orang yang beribadah berusaha menghindari semua yang mungkin bertentangan dengan aliran Allah dalam bentuk kata-kata atau perbuatan dengan hati atau anggota-anggota tubuh dan menolak segala hal yang mungkin menjadikan murka-Nya.
Asep Salahudin mengutip pendapatnya Al-Fudhail yang dilaporkan berkata, “Allah menunjukkan segenap keburukan dalam sebuah rumah tangga dan alasannya ialah utamanya ialah cinta dunia. Allah juga menjadikan segenap kebaikan dalam sebuah rumah tangga dan alasannya ialah utamanya ialah zuhud dari dunia.”
Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 77, yang Artinya: “Katakanlah, ‘kesenangan dunia ini hanya sebentar dan alam abadi itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. An-Nisa’: 77)
Karena itu, di dalam bukunya yang berjudulTasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, M. Amin Syukur mengutip salahseorang tokoh sufi yang berjulukan Yahya bin Mu’adz, dia menyatakan bahwa sifat zuhud akan melahirkan kedermawanan. Zuhud digambarkan oleh al-Qur’an, surat al-Hadid ayat 23 Artinya: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kau jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kau jangan terlalu gembira terhadap apa yang telah diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Zuhud ialah instrumen terbaik dalam menyikapi dunia. Zuhud tidak identik dengan melarat. Bahkan, dalam sebuah riwayat dikatakan, bahwa orang yang berimanlah yang berhak mempunyai dunia. “Zahid ialah orang yang mempunyai dunia dan tidak dimiliki dunia,” demikian tegas Ali bin Abi Thalib. Yang kerap terjadi ialah kita dikontrol dunia, bukan kita yang mengontrol dunia. Itulah yang dikecam Islam. Dan kita maklum, lantaran sikap demikianlah yang pada gilirannya sanggup mengkondisikan orang yang berwatak tamak, rakus, dan egois, sebagaimana disinyalir dalam Al-Qur’an surat Al-Takatsur ayat 1-3.
Orang yang enggan menyunting zuhud dalam hidupnya, hakikatnya telah menjadi budak hawanafsunya. Padahal, “Hawa nafsu ialah musuh akal,” ujar Imam Ja’far Al-Shadiq.
Salah satu kiat biar kita sanggup hidup zuhud ialah dengan melazimkan muraqabah (mawas diri) dan muhasabah(introspeksi), di samping selalu memagari diri dari serbuan hawa nafsu dunia yang datangdari tiga penjuru: kesenangan (lahwun), permainan (la’bun), dan kesia-siaan (‘abats).
Muhasabah merupakan kunci bagi sejenis penahanan diri yang dikemukakan oleh Hasan al-Basri, di mana orang yang beribadah berusaha menghindari semua yang mungkin bertentangan dengan aliran Allah dalam bentuk kata-kata atau perbuatan dengan hati atau anggota-anggota tubuh dan menolak segala hal yang mungkin menjadikan murka-Nya.
Asep Salahudin mengutip pendapatnya Al-Fudhail yang dilaporkan berkata, “Allah menunjukkan segenap keburukan dalam sebuah rumah tangga dan alasannya ialah utamanya ialah cinta dunia. Allah juga menjadikan segenap kebaikan dalam sebuah rumah tangga dan alasannya ialah utamanya ialah zuhud dari dunia.”