Yang Dimaksud Pengertian Ifta’
Kata ifta' adalah masdar dari kata afta, yufti, Ifta’an, adapun kata futya, atau fatwa adalah isim masdar dari afta, han...
https://tutorialcarapintar.blogspot.com/2019/02/yang-dimaksud-pengertian-ifta.html
Kata ifta' adalah masdar dari kata afta, yufti, Ifta’an, adapun kata futya, atau fatwa adalah isim masdar dari afta, hanya saja kata futya lebih sering digunakan oleh orang Arab sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Mandzur dalam lisanya.
Adapun pengertian Ifta' secara etimologi adalah al-Ibanah (penjelasan), yaitu memperlihatkan penjelasan kepada orang lain. Atas dasar ini, Ifta' berarti memperlihatkan klarifikasi kepada orang lain yang menanyakan suatau hal. Usamah 'Umar al-Asyqar menambahkan bahwa ifta' bukan hanya sekedar memperlihatkan penjelasan kepada orang lain, tetapi juga memperlihatkan pemberian dan petunjuk kepada orang yang meminta pedoman (Mustafti), atau memperlihatkan jalan yang harus dilalui oleh mustafti untuk keluar dari permasalahan yang dihadapinya. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Allah saat menceritakan wacana kerajaan Ratu Saba' saat mendapatkan surat dari Raja Sulaiman as.
"Berkata dia (Balqis): "Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kau berada dalam majelis (ku)".
Dalam ayat diatas kata aftuni bukan bermakna memberikan klarifikasi terhadap apa yang ditanyakan Oleh Balqis, tetapi bermakna undangan nasehat dan pertimbangan atas suatu kasus yang besar.
Adapun pengertian Ifta' secara terminologi adalah: memberikan keterangan hukum Allah swt berdasarkan dalil Syari'. (al-Ikhbar 'an Hukmillah bidalilin Syar'iyyin).
Dari definisi di atas kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al-Ifta' yakni mengeluarkan keterangan aturan Allah swt sesuai dengan dalil shari' (al-Qur'an dan al-Sunnah), maka memperlihatkan pedoman yang tanpa didasari dalil al-Qur'an dan al-Sunnah bukan dinamakan dengan Ifta'.
Ifta’ hanya sebatas "al-Ikhbar", yaitu memberikan jawaban, oleh alasannya yakni itu seorang mufti tidak memiliki hak Ijbar (paksa) kepada mustafti atas fatwa yang disampaikan kepadanya. Syaikh Mahmud Syaltut dalam Muqaddimah fatwanya mengatakan, bahwa fatwa adalah jawaban dari
seorang mufti atas pertanyaan yang disampaikan oleh Mustafti. Oleh alasannya yakni itu penjelasan hukum yang bukan dari pertanyaan maka tidak dinamakan sebagai fatwa, tetapi dinamakan sebagai ta'lim atau al-Irsyad.
Imam al-Shatibi dalam al-Muwafaqatnya mengatakan bahwa fatwa dan memperlihatkan jawaban pertanyaan (al-jawab ‘an al-sual) adalah dua hal yang berbeda.
Sementara itu Sulaiman al-Asyqar menambahkan bahwa pedoman yakni memperlihatkan keterangan hukum Allah swt atas suatu perkara yang baru (amrin Nazilin). Maka dari itu sebuah keterangan aturan yang sudah pasti, menyerupai wajibnya shalat dan zakat maka bukan termasuk dalam kategori fatwa, alasannya yakni dua hal tersebut bukan termasuk kasus yang baru. Pernyataan ini secara tidak langsung mengidikasihkan bahwa orang yang memperlihatkan pedoman (Mufti) adalah orang yang mempunyai derajat Ijtihad, (Mujtahid) sebagaimana Imam Madhab empat. Hal ini juga diamini oleh Imam al-
Syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhul fi Tahqiqi al-haq min 'ilmi al-Ushul nya dan Syaikh Abu Zahrah dalam ushul fiqhnya.
Ulama' lain seperti al-Qarafi menambahkan taqyid (batasan) "min Ghairi Ilzam" tidak memaksa, maka seorang mufti tidak mempunyai hak pemaksaan atas pedoman yang dikeluarkanya sebagaimana seorang Qadi.
Dari klarifikasi di atas penulis sanggup memperlihatkan kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan fatwa atau adalah: Sebuah keterangan hukum yang tidak mengikat yang diberikan oleh seorang mufti kepada mustafti, baik tanggapan atas sebuah pertanyaan atau tidak, baik permaslahan gres ataupun usang yang berlandaskan atas dalil al-Qur’an dan al-Sunnah.
Hal yang melandasi penulis di sini adalah bahwa Rasulullah saw dalam memperlihatkan keterangan aturan pada ummatnya tidak mesti didahului dengan sebuah pertanyaan yastaftunaka (mereka bertanya kepadamu), tetapi segala hal penting yang dipandang oleh Rasulullah untuk Ummatnya, maka ia fatwakan, baik diawali pertanyaan maupun tidak.
Adapun pengertian Ifta' secara etimologi adalah al-Ibanah (penjelasan), yaitu memperlihatkan penjelasan kepada orang lain. Atas dasar ini, Ifta' berarti memperlihatkan klarifikasi kepada orang lain yang menanyakan suatau hal. Usamah 'Umar al-Asyqar menambahkan bahwa ifta' bukan hanya sekedar memperlihatkan penjelasan kepada orang lain, tetapi juga memperlihatkan pemberian dan petunjuk kepada orang yang meminta pedoman (Mustafti), atau memperlihatkan jalan yang harus dilalui oleh mustafti untuk keluar dari permasalahan yang dihadapinya. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Allah saat menceritakan wacana kerajaan Ratu Saba' saat mendapatkan surat dari Raja Sulaiman as.
"Berkata dia (Balqis): "Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kau berada dalam majelis (ku)".
Dalam ayat diatas kata aftuni bukan bermakna memberikan klarifikasi terhadap apa yang ditanyakan Oleh Balqis, tetapi bermakna undangan nasehat dan pertimbangan atas suatu kasus yang besar.
Adapun pengertian Ifta' secara terminologi adalah: memberikan keterangan hukum Allah swt berdasarkan dalil Syari'. (al-Ikhbar 'an Hukmillah bidalilin Syar'iyyin).
Dari definisi di atas kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al-Ifta' yakni mengeluarkan keterangan aturan Allah swt sesuai dengan dalil shari' (al-Qur'an dan al-Sunnah), maka memperlihatkan pedoman yang tanpa didasari dalil al-Qur'an dan al-Sunnah bukan dinamakan dengan Ifta'.
Ifta’ hanya sebatas "al-Ikhbar", yaitu memberikan jawaban, oleh alasannya yakni itu seorang mufti tidak memiliki hak Ijbar (paksa) kepada mustafti atas fatwa yang disampaikan kepadanya. Syaikh Mahmud Syaltut dalam Muqaddimah fatwanya mengatakan, bahwa fatwa adalah jawaban dari
seorang mufti atas pertanyaan yang disampaikan oleh Mustafti. Oleh alasannya yakni itu penjelasan hukum yang bukan dari pertanyaan maka tidak dinamakan sebagai fatwa, tetapi dinamakan sebagai ta'lim atau al-Irsyad.
Imam al-Shatibi dalam al-Muwafaqatnya mengatakan bahwa fatwa dan memperlihatkan jawaban pertanyaan (al-jawab ‘an al-sual) adalah dua hal yang berbeda.
Sementara itu Sulaiman al-Asyqar menambahkan bahwa pedoman yakni memperlihatkan keterangan hukum Allah swt atas suatu perkara yang baru (amrin Nazilin). Maka dari itu sebuah keterangan aturan yang sudah pasti, menyerupai wajibnya shalat dan zakat maka bukan termasuk dalam kategori fatwa, alasannya yakni dua hal tersebut bukan termasuk kasus yang baru. Pernyataan ini secara tidak langsung mengidikasihkan bahwa orang yang memperlihatkan pedoman (Mufti) adalah orang yang mempunyai derajat Ijtihad, (Mujtahid) sebagaimana Imam Madhab empat. Hal ini juga diamini oleh Imam al-
Syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhul fi Tahqiqi al-haq min 'ilmi al-Ushul nya dan Syaikh Abu Zahrah dalam ushul fiqhnya.
Ulama' lain seperti al-Qarafi menambahkan taqyid (batasan) "min Ghairi Ilzam" tidak memaksa, maka seorang mufti tidak mempunyai hak pemaksaan atas pedoman yang dikeluarkanya sebagaimana seorang Qadi.
Dari klarifikasi di atas penulis sanggup memperlihatkan kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan fatwa atau adalah: Sebuah keterangan hukum yang tidak mengikat yang diberikan oleh seorang mufti kepada mustafti, baik tanggapan atas sebuah pertanyaan atau tidak, baik permaslahan gres ataupun usang yang berlandaskan atas dalil al-Qur’an dan al-Sunnah.
Hal yang melandasi penulis di sini adalah bahwa Rasulullah saw dalam memperlihatkan keterangan aturan pada ummatnya tidak mesti didahului dengan sebuah pertanyaan yastaftunaka (mereka bertanya kepadamu), tetapi segala hal penting yang dipandang oleh Rasulullah untuk Ummatnya, maka ia fatwakan, baik diawali pertanyaan maupun tidak.