Yang Dimaksud Pengertian Korupsi
Pengertian Korupsi - Kata korupsi berasal dari bahasa latin coruptic coruptus, selanjutnya disebutkan bahwa coruptioitu berasal pula dari k...
https://tutorialcarapintar.blogspot.com/2019/02/yang-dimaksud-pengertian-korupsi.html
Pengertian Korupsi - Kata korupsi berasal dari bahasa latin coruptic coruptus, selanjutnya disebutkan bahwa coruptioitu berasal pula dari kata asal corurnperre, bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa menyerupai Inggris: corruption, corrupt; Prancis: corruption;dan Belanda: corruptic (korruptic).
Seperti yang kita tahu bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia “korupsi” arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, sanggup di suap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan, yang menghina atau memfitnah yang kemudian menjadi luas penggolongan atau jenis korupsi menyerupai dalam bidang politik, keuangan, materiil.
Kata korupsi kini ini sering terdengar pada setiap saat, baik itu melalui surat kabar, majalah, media elektronik, dan lain-lain. Hal inilah yang sering dibeberkan dalam masalah manipulasi atau penipuan yang dilakukan oleh oknum tertentu yang kebetulan mendapat kesempatan untuk memegang dingklik kekuasaan. Dengan adanya kekuasaan itulah sering disalahgunakan untuk memenuhi hasrat eksklusif dan nafsu pribadi, sehingga akan cepat mempermudah rusaknya sendi-sendi dan kekuatan pemerintah, menyerupai yang dikatakan oleh Soejono Soekanto, “korupsimerupakan parasit sosial yang merusak sendi-sendi struktur pemerintahan dan menjadi kendala paling utama bagi pembangunan, ada yang menyampaikan korupsi ialah “seni hidup”dan menjadi aspek kebudayaan dalam kehidupan kita.”
W.Sangaji beropini bahwa: Pengertian korupsi tergantung dari sudut pandang setiap orang, apa dan bagaimana korupsi itu diartikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal ini di tandai dengan selain terdapat keseragaman dalam merumuskan pengertian korupsi. Perlu di kemukakan bahwa korupsi ialah perbuatan seseorang atau sekelompok orang menyuap orang atau kelompok lain untuk mempermudah impian dan menghipnotis si peserta untuk menunjukkan pertimbangan khusus guna mengabulkan permohonannya.
W.J.S. Poerwodarminta dalam kamus umum bahasa Indonesia beropini bahwa “korupsi ialah perbuatan yang jelek menyerupai penggelapan uang, penerimaan uang, dan sebagainya”. Pengertian yang dipahami dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ialah pengertian korupsi dalam arti luas, mencakup perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan negara yang sanggup dituntut dan dipidana berdsarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan yang berlaku ketika ini ialah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 wacana Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Keuangan negara yang dimaksud ialah kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala pecahan kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul :
1) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan tanggung jawab forum negara baik di tingkat sentra maupun daerah.
2) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan tanggung jawab BUMN, Yayasan, Badan Hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Menurut Martiman Projohamidjoyo: Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara ialah kehidupan perekonomian perekonomian yang disusun sebagai perjuangan bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun perjuangan masyarakat secara berdikari yang didasarkan pada kebijakan pemerintah baik di sentra maupun di tempat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan untuk menunjukkan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Pengertian yang lebih khusus wacana tindak pidana korupsi terdapat pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 wacana Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 2 ayat (1) yang memilih bahwa “setiap orang yang secara melawan aturan melaksanakan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang merugikan keuangan negara / perekonomian negara”.
Sedangkan pengertian tindak pidana korupsi berdasarkan Kartini Kartono: “korupsi ialah tingkah laris individu yang menggunakan kewenangan dan jabatannya guna mengeduk laba pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara, jadi korupsi tanda-tanda salah satu terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan formal (misalnya dengan alasan aturan dan kekuatan senjata memperkaya diri sendiri)”.
Dengan demikian korupsi merupakan suatu tindak pidana yang sanggup dikenai hukuman pidana dan eksekusi sesuuai dengan peraturan perundangan, lantaran akhir yang ditimbulkan adanya korupsi ialah sangat merugikan kepentingan negara dan masyarakat.
Kartini Kartono menyatakan bahwa: Korupsi sanggup dimasukan ke dalam kategori perbuatan kejahatan maka praktik-praktik yang sanggup dimasukan dalam perbuatan korupsi antara lain ialah penggelapan, penyogokan, penyuapan, kecerobohan manajemen dengan materiil, tukar barang kekuasan politik, dengan sejumlah uang pemfokusan uang kontrak-kontrak menyerupai mainan”untuk mendapat komisi besar diri sendiri dan kelompok dalam penjualan “pengampinan” pada oknum-oknum yang melaksanakan tindak pidana semoga tidak dituntut oleh yang berwajib dengan imbalan uang, eksploitasi dan pemerasan formal oleh pegawai dan pejabat resmi dan lain-lainnya”.
Dengan demikian jelaslah apabila masyarakat menganggap bahwa korupsi ialah suatu perbuatan yang wajar, maka sanggup dipastikan bahwa tindakan korupsi akan berkembang dan merajalela. Salah satu lingkungan yang baik bagi perkembangan tindak pidana korupsi tiada lain ialah kehadiran birokrasi-patrimonial, tidak hanya dalam bentuk-bentuknya yang tradisional di masa lampau, akan tetapi juga dalam bentuk-bentuk yang gres yang menggunakan kedok birokrasi modern menyerupai tubuh pengawas keuangan negara, inspektur jenderal di setiap kementrian, parlemen, alat penuntut umum dan sebagainya. Tetapi bentuk-bentuk modern ini, yang tetap dikuasai oleh nilai-nilai birokrasi patrimonial yang lama, tidaklah memiliki kekuatan untuk menghadapi perkembangan korupsi, kita lihat betapa si pengawas ikut korupsi dengan yang diawasi sampai-sampai alat penyidik, penuntut umum dan lain-lain banyak yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Menurut Lubis Mochtar dan Scoot James: Warisan birokrasi patrimonial dan masa feodalisme telah mengakibatkan birokrasi nepotisme yang memberi jabatan atau jasa khusus pada sanak dan sahabat. Dalam lingkungan menyerupai ini berbuat korupsi di anggap sesuatu yang masuk akal saja dan masyarakat pun tidak murka jikalau mengetahui banyak sekali tindak korupsi yang telah terjadi, dan sanggup disimpulkan bahwa hingga hari ini masyarakt Indonesia masih menganggap korupsi itu wajar-wajar saja.
Sementara itu, mengenai kategori aturan pidana, “tindak pidana korupsi dikategorikan ke dalam aturan pidana khusus, atau juga dikenal dengan delik khusus” (Hamzah 2008: 97). Berdasarkan ketentuan pasal 103 Kitab Undang-Undang (KUHP), dimungkinkan adanya peraturan perundang-undangan pidana di luar KUHP. Peraturan perundang-undangan pidana diluar kitab undang-undang hukum pidana inimerupakan suplemen aturan pidana yang dikodifikasikan dalam KUHP. Dalam pasal 103 kitab undang-undang hukum pidana disebutkan bahwa “ketentuan-ketentuan dalam Bab I hingga dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya yang diancam dengan pidana, kecuali jikalau oleh undang-undang ditentuakan lain” (Pasal 103 KUHP).
Lebih jauh, yang dimaksud dengan aturan pidana khusus berdasarkan Adam Chazawi, ialah “semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi dalam Kitab Undang-Undang aturan Pidana pada buku II dan buku III, contohnya tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan,dan tindak pidana narkotika.”
Kemudian lebih jelasnya, sanggup dilihat dari unsur-unsur tindak pidana korupsi yang berdasarkan pembentuk undang-undang ialah orang-orang yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana korupsi dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 423 dan pasal 424 KUHP, bukan lantaran atas kekuasaan dan jabatan akan tetapi orang tersebut juga untuk mencari laba sendiri dan merugikan keuangan negara.
Selain menyerupai yang disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 yang berarti juga unsur-unsur pokok dari korupsi adalah:
1) Setiap orang.
2) Secara melawan hukum.
3) Melakukan perbuatan memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
4) Menyelenggarakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya lantaran jabatan atau kedudukan yang ada padanya.
5) Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Ditinjau dari unsur-unsur di atas tersebut, korupsi juga sanggup dilihat dari sebab-sebab, ciri-ciri dan sifat adanya tindak pidana korupsi.
Menurut Evi Hartanti korupsi sanggup dilihat dari beberapa faktor, yaitu:
1) Lemahnya pendidikan agama dan etika.
2) Kolonialisme
Suatu pemerintahan absurd tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diharapkan untuk membendung korupsi.
3) Kurangnya pendidikan
Namun kenyataannya kini kasus-kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memilki kemampuuan iantelektual yang tinggi, pandai dan terpandang sehingga alasan ini sanggup dikatakan kurang tepat.
4) Kemiskinan
Pada masalah korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan, lantaran mereka bukanlah dari kalangan yang tidak bisa melainkan para konglomerat.
5) Tidak adanya hukuman yang keras.
6) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi.
7) Struktur pemerintahan.
8) Perubahan radikal, pada ketika sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional.
9) Keadaan masyarakat, Korupsi dalam suatu birokrasi bisa
mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan.
Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi ialah keadaan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat.
Sebagaimana telah diuraikan mengenai pengertian korupsi diatas, maka berdasarkan Shed Husein Alatas sebagaimana dikutip oleh Evi Hartanti dalam bukunya yang berjudul “Tindak Pidana Korupsi”, ciri-ciri korupsi itu sendiri, yaitu:
a) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan masalah pencurian atau penipuan.
b) Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak termakan untuk menyembunyikan perbuatannya namun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiannya.
c) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan laba timbal balik. Kewajiban dan laba itu tidak selalu berupa uang.
d) Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya selalu berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.
e) Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan bisa untuk menghipnotis keputusan-keputusan itu.
f) Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh tubuh publik atau umum.
g) Setiap bentuk korupsi ialah suatu pengkhianatan kepercayaan.
Berbicara mengenai korupsi ini sanggup pula diadakan pembagian-pembagian berdasarkan sifatnya (motifnya), dimana sifat korupsi dibagi dalam dua bentuk, yaitu:
1) Korupsi yang bermotif terselubung. Maksudnya ialah korupsi yang sepintas kemudian kelihatannya bermotif politik tetapi secara tersembunyi bahu-membahu bermotif mendapat uang semata.
2) Korupsi yang bermotif ganda. Maksudnya ialah seseorang melaksanakan korupsi yang secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapat uang, tetapi bahu-membahu bermotif lain, yaitu motif kepentingan politik.
Menurut Baharudin Lopa dalam bukunya “Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum”, ”Seseorang yang melaksanakan korupsi termasuk dalam salah satu atau kedua sifat tersebut di atas secara popular sanggup dikatakan mengkorup kebenaran, apabila golongan intelektual ini telah menunjukkan nasehat yang tidak jujur, sehingga turut menimbulkan dilaksanakannya satu kebijakan yang merugikan rakyat. Maka sangat berat tanggung jawab mereka, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun masyarakat yang dirugikan itu.”
Seperti yang kita tahu bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia “korupsi” arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, sanggup di suap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan, yang menghina atau memfitnah yang kemudian menjadi luas penggolongan atau jenis korupsi menyerupai dalam bidang politik, keuangan, materiil.
Kata korupsi kini ini sering terdengar pada setiap saat, baik itu melalui surat kabar, majalah, media elektronik, dan lain-lain. Hal inilah yang sering dibeberkan dalam masalah manipulasi atau penipuan yang dilakukan oleh oknum tertentu yang kebetulan mendapat kesempatan untuk memegang dingklik kekuasaan. Dengan adanya kekuasaan itulah sering disalahgunakan untuk memenuhi hasrat eksklusif dan nafsu pribadi, sehingga akan cepat mempermudah rusaknya sendi-sendi dan kekuatan pemerintah, menyerupai yang dikatakan oleh Soejono Soekanto, “korupsimerupakan parasit sosial yang merusak sendi-sendi struktur pemerintahan dan menjadi kendala paling utama bagi pembangunan, ada yang menyampaikan korupsi ialah “seni hidup”dan menjadi aspek kebudayaan dalam kehidupan kita.”
W.Sangaji beropini bahwa: Pengertian korupsi tergantung dari sudut pandang setiap orang, apa dan bagaimana korupsi itu diartikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal ini di tandai dengan selain terdapat keseragaman dalam merumuskan pengertian korupsi. Perlu di kemukakan bahwa korupsi ialah perbuatan seseorang atau sekelompok orang menyuap orang atau kelompok lain untuk mempermudah impian dan menghipnotis si peserta untuk menunjukkan pertimbangan khusus guna mengabulkan permohonannya.
Pengertian Korupsi |
W.J.S. Poerwodarminta dalam kamus umum bahasa Indonesia beropini bahwa “korupsi ialah perbuatan yang jelek menyerupai penggelapan uang, penerimaan uang, dan sebagainya”. Pengertian yang dipahami dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ialah pengertian korupsi dalam arti luas, mencakup perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan negara yang sanggup dituntut dan dipidana berdsarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan yang berlaku ketika ini ialah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 wacana Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Keuangan negara yang dimaksud ialah kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala pecahan kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul :
1) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan tanggung jawab forum negara baik di tingkat sentra maupun daerah.
2) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan tanggung jawab BUMN, Yayasan, Badan Hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Menurut Martiman Projohamidjoyo: Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara ialah kehidupan perekonomian perekonomian yang disusun sebagai perjuangan bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun perjuangan masyarakat secara berdikari yang didasarkan pada kebijakan pemerintah baik di sentra maupun di tempat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan untuk menunjukkan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Pengertian yang lebih khusus wacana tindak pidana korupsi terdapat pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 wacana Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 2 ayat (1) yang memilih bahwa “setiap orang yang secara melawan aturan melaksanakan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang merugikan keuangan negara / perekonomian negara”.
Sedangkan pengertian tindak pidana korupsi berdasarkan Kartini Kartono: “korupsi ialah tingkah laris individu yang menggunakan kewenangan dan jabatannya guna mengeduk laba pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara, jadi korupsi tanda-tanda salah satu terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan formal (misalnya dengan alasan aturan dan kekuatan senjata memperkaya diri sendiri)”.
Dengan demikian korupsi merupakan suatu tindak pidana yang sanggup dikenai hukuman pidana dan eksekusi sesuuai dengan peraturan perundangan, lantaran akhir yang ditimbulkan adanya korupsi ialah sangat merugikan kepentingan negara dan masyarakat.
Kartini Kartono menyatakan bahwa: Korupsi sanggup dimasukan ke dalam kategori perbuatan kejahatan maka praktik-praktik yang sanggup dimasukan dalam perbuatan korupsi antara lain ialah penggelapan, penyogokan, penyuapan, kecerobohan manajemen dengan materiil, tukar barang kekuasan politik, dengan sejumlah uang pemfokusan uang kontrak-kontrak menyerupai mainan”untuk mendapat komisi besar diri sendiri dan kelompok dalam penjualan “pengampinan” pada oknum-oknum yang melaksanakan tindak pidana semoga tidak dituntut oleh yang berwajib dengan imbalan uang, eksploitasi dan pemerasan formal oleh pegawai dan pejabat resmi dan lain-lainnya”.
Dengan demikian jelaslah apabila masyarakat menganggap bahwa korupsi ialah suatu perbuatan yang wajar, maka sanggup dipastikan bahwa tindakan korupsi akan berkembang dan merajalela. Salah satu lingkungan yang baik bagi perkembangan tindak pidana korupsi tiada lain ialah kehadiran birokrasi-patrimonial, tidak hanya dalam bentuk-bentuknya yang tradisional di masa lampau, akan tetapi juga dalam bentuk-bentuk yang gres yang menggunakan kedok birokrasi modern menyerupai tubuh pengawas keuangan negara, inspektur jenderal di setiap kementrian, parlemen, alat penuntut umum dan sebagainya. Tetapi bentuk-bentuk modern ini, yang tetap dikuasai oleh nilai-nilai birokrasi patrimonial yang lama, tidaklah memiliki kekuatan untuk menghadapi perkembangan korupsi, kita lihat betapa si pengawas ikut korupsi dengan yang diawasi sampai-sampai alat penyidik, penuntut umum dan lain-lain banyak yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Menurut Lubis Mochtar dan Scoot James: Warisan birokrasi patrimonial dan masa feodalisme telah mengakibatkan birokrasi nepotisme yang memberi jabatan atau jasa khusus pada sanak dan sahabat. Dalam lingkungan menyerupai ini berbuat korupsi di anggap sesuatu yang masuk akal saja dan masyarakat pun tidak murka jikalau mengetahui banyak sekali tindak korupsi yang telah terjadi, dan sanggup disimpulkan bahwa hingga hari ini masyarakt Indonesia masih menganggap korupsi itu wajar-wajar saja.
Sementara itu, mengenai kategori aturan pidana, “tindak pidana korupsi dikategorikan ke dalam aturan pidana khusus, atau juga dikenal dengan delik khusus” (Hamzah 2008: 97). Berdasarkan ketentuan pasal 103 Kitab Undang-Undang (KUHP), dimungkinkan adanya peraturan perundang-undangan pidana di luar KUHP. Peraturan perundang-undangan pidana diluar kitab undang-undang hukum pidana inimerupakan suplemen aturan pidana yang dikodifikasikan dalam KUHP. Dalam pasal 103 kitab undang-undang hukum pidana disebutkan bahwa “ketentuan-ketentuan dalam Bab I hingga dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya yang diancam dengan pidana, kecuali jikalau oleh undang-undang ditentuakan lain” (Pasal 103 KUHP).
Lebih jauh, yang dimaksud dengan aturan pidana khusus berdasarkan Adam Chazawi, ialah “semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi dalam Kitab Undang-Undang aturan Pidana pada buku II dan buku III, contohnya tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan,dan tindak pidana narkotika.”
Kemudian lebih jelasnya, sanggup dilihat dari unsur-unsur tindak pidana korupsi yang berdasarkan pembentuk undang-undang ialah orang-orang yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana korupsi dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 423 dan pasal 424 KUHP, bukan lantaran atas kekuasaan dan jabatan akan tetapi orang tersebut juga untuk mencari laba sendiri dan merugikan keuangan negara.
Selain menyerupai yang disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 yang berarti juga unsur-unsur pokok dari korupsi adalah:
1) Setiap orang.
2) Secara melawan hukum.
3) Melakukan perbuatan memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
4) Menyelenggarakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya lantaran jabatan atau kedudukan yang ada padanya.
5) Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Ditinjau dari unsur-unsur di atas tersebut, korupsi juga sanggup dilihat dari sebab-sebab, ciri-ciri dan sifat adanya tindak pidana korupsi.
Menurut Evi Hartanti korupsi sanggup dilihat dari beberapa faktor, yaitu:
1) Lemahnya pendidikan agama dan etika.
2) Kolonialisme
Suatu pemerintahan absurd tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diharapkan untuk membendung korupsi.
3) Kurangnya pendidikan
Namun kenyataannya kini kasus-kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memilki kemampuuan iantelektual yang tinggi, pandai dan terpandang sehingga alasan ini sanggup dikatakan kurang tepat.
4) Kemiskinan
Pada masalah korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan, lantaran mereka bukanlah dari kalangan yang tidak bisa melainkan para konglomerat.
5) Tidak adanya hukuman yang keras.
6) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi.
7) Struktur pemerintahan.
8) Perubahan radikal, pada ketika sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional.
9) Keadaan masyarakat, Korupsi dalam suatu birokrasi bisa
mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan.
Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi ialah keadaan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat.
Sebagaimana telah diuraikan mengenai pengertian korupsi diatas, maka berdasarkan Shed Husein Alatas sebagaimana dikutip oleh Evi Hartanti dalam bukunya yang berjudul “Tindak Pidana Korupsi”, ciri-ciri korupsi itu sendiri, yaitu:
a) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan masalah pencurian atau penipuan.
b) Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak termakan untuk menyembunyikan perbuatannya namun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiannya.
c) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan laba timbal balik. Kewajiban dan laba itu tidak selalu berupa uang.
d) Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya selalu berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.
e) Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan bisa untuk menghipnotis keputusan-keputusan itu.
f) Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh tubuh publik atau umum.
g) Setiap bentuk korupsi ialah suatu pengkhianatan kepercayaan.
Berbicara mengenai korupsi ini sanggup pula diadakan pembagian-pembagian berdasarkan sifatnya (motifnya), dimana sifat korupsi dibagi dalam dua bentuk, yaitu:
1) Korupsi yang bermotif terselubung. Maksudnya ialah korupsi yang sepintas kemudian kelihatannya bermotif politik tetapi secara tersembunyi bahu-membahu bermotif mendapat uang semata.
2) Korupsi yang bermotif ganda. Maksudnya ialah seseorang melaksanakan korupsi yang secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapat uang, tetapi bahu-membahu bermotif lain, yaitu motif kepentingan politik.
Menurut Baharudin Lopa dalam bukunya “Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum”, ”Seseorang yang melaksanakan korupsi termasuk dalam salah satu atau kedua sifat tersebut di atas secara popular sanggup dikatakan mengkorup kebenaran, apabila golongan intelektual ini telah menunjukkan nasehat yang tidak jujur, sehingga turut menimbulkan dilaksanakannya satu kebijakan yang merugikan rakyat. Maka sangat berat tanggung jawab mereka, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun masyarakat yang dirugikan itu.”