Yang Dimaksud Pengertian Pembuktian
Pengertian Pembuktian - Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan bahwa, “Bukti ialah tanda yang sanggup membenarkan apa yang dik...
https://tutorialcarapintar.blogspot.com/2019/02/yang-dimaksud-pengertian-pembuktian.html
Pengertian Pembuktian - Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan bahwa, “Bukti ialah tanda yang sanggup membenarkan apa yang dikatakan, apa yang terjadi, sanggup dikatakan sebagai saksi untuk sesuatu; sedangkan pembuktian ialah hal, cara, hasil kerja membuktikan.”
Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak menunjukkan klarifikasi mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah berdasarkan hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak menunjukkan pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi banyak andal aturan yang berusaha menjelaskan wacana arti dari pembuktian.
Menurut Bambang Poernomo mendefinisikan bahwa, “Pembuktian berdasarkan aturan intinya merupakan proses untuk memilih substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa kemudian yang tidak terang menjadi fakta-fakta yang terang dalam hubungannya dengan kasus pidana.”
Sementara itu Yahya Harahap menjelaskan arti “Pembuktian ditinjau dari segi aturan program pidana, yakni ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran.”
Pembuktian merupakan duduk kasus yang memegang peranan penting dalam proses investigasi sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, bila kesalahan terdakwa sanggup dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh sebab itu para hakim harus berhati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan duduk kasus pembuktian. Kegiatan pembuktian intinya dipakai untuk memperoleh kebenaran.
Teori Pembuktian
Menurut Rusli Muhammad menyebutkan, “Ada beberapa macam teori pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim dalam melaksanakan investigasi di sidang pengadilan”. Teori ini mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dan menjadi ciri dari masing-masing teori tersebut”. Adapun teori tersebut sanggup diuraikan sebagai berikut :
a. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (Conviction intime)
Teori ini lebih menunjukkan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Tidak ada alat bukti yang dikenal selain alat bukti berupa keyakinan seorang hakim. Artinya, jikalau dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani, terdakwa yang diajukan kepadanya sanggup dijatuhkan putusan. Keyakinan hakim pada teori ini ialah memilih dan mengabaikan hal-hal lainnya jikalau sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut.
Konsekuensi dari pembuktian yang demikian tidak membuka kesempatan atau paling tidak menyulitkan bagi terdakwa untuk mengajukan pembelaan dengan menyodorkan bukti-bukti lainnya sebagai pendukung pembelaannya itu. Tidak mengakui dan menerimanya bukti-bukti lain sanggup berakibat putusan hakim menjadi tidak adil, bahkan menjadi absurd dimata masyarakat.
Menurut Andi Hamzah menyebutkan bahwa, “Sistem ini dianut oleh peradilan jury di Prancis. Praktek peradilan jury di Prancis menciptakan pertimbangan berdasarkan metode ini dan menjadikan banyaknya putusan bebas yang sangat aneh.”
b. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Conviction Rasionnee)
Teori ini tetap memakai keyakinan hakim, tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan (reasoning) yang rasional. Dalam teori ini hakim tidak lagi mempunyai kebebasan untuk memilih keyakinannya. Keyakinannya harus diikuti dengan alasan-alasan yang mendasari keyakinan itu. Alasan tersebut harus reasonable yakni berdasarkan alasan yang sanggup diterima oleh nalar pikiran. Menurut Andi Hamzah hakim sanggup memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.
Teori ini tidak menyebutkan adanya alat-alat bukti yang sanggup dipakai dalam memilih kesalahan terdakwa selain dari keyakinan hakim semata-mata. Dengan demikian, sanggup dikatakan bahwa teori ini hampir sama dengan teori pembuktian conviction intime yakni sama-sama memakai keyakinan hakim, perbedaannya terletak pada ada tidaknya alasan yang rasional yang mendasari keyakinan hakim. Hal ini mengambarkan teori pembuktian dengan alasan yang logis lebih maju bila dibandingkan teori keyakinan hakim.
c. Teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (Positief wettelijk bewijstheorie)
Pembuktian berdasarkan teori ini dilakukan dengan memakai alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan dalam undang-undang. Untuk memilih ada tidaknya kesalahan seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti tersebut di dalam undang-undang. Jika alat-alat bukti tersebut telah terpenuhi, hakim sudah cukup beralasan untuk menjatuhkan putusannya tanpa harus timbul keyakinan terlebih dahulu atas kebenaran alat-alat bukti yang ada.
Menurut D. Simons, sebagaimana dikutip Andi Hamzah (Makarao dan Suhasril 2010: 104) mengatakan, “Sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat berdasarkan peraturan-peraturan pembuktian yang keras.”
Keuntungan dari teori ini yaitu sanggup mempercepat penyelesaian kasus dan bagi kasus pidana yang ringan sanggup memudahkan hakim mengambil keputusan sebab resiko kekeliruan kemungkinan kecil sekali.
d. Teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewisjtheorie)
Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif ialah pembuktian yang selain memakai alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang, juga memakai keyakinan hakim. Sekalipun memakai keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan memakai alat-alat bukti yang tercantum dalam undang-undang dan keyakinan hakim maka teori pembuktian ini sering juga disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag).
Menurut Makarao dan Suhasril menyebutkan bahwa: Teori pembuktian ini menekankan kepada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah kemudian keyakinan hakim. Sistem atau teori ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi, hakim dihentikan menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannnya.
Inti dari teori pembuktian ini ialah bahwa hakim dalam memilih terbukti tidaknya perbuatan atau ada tidaknya kesalahan terdakwa harus berdasarkan alat-alat bukti yang tercantum dalam undang-undang dan terhadap alat-alat bukti tersebut hakim mempunyai keyakinan terhadapnya. Jika alat bukti tersebut terpenuhi, tetapi hakim tidakmemperoleh keyakinan terhadapnya, hakim tidak sanggup menjatuhkan putusan yang sifatnya pemidanaan. Sebaliknya, sekalipun hakim mempunyai keyakinan bahwa terdakwa ialah pelaku dan mempunyai kesalahan, tetapi jikalau tidak dilengkapi dengan alat-alat bukti yang sah, ia pun tidak sanggup menjatuhkan putusan pidana, tetapi putusan bebas.
Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak menunjukkan klarifikasi mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah berdasarkan hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak menunjukkan pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi banyak andal aturan yang berusaha menjelaskan wacana arti dari pembuktian.
Menurut Bambang Poernomo mendefinisikan bahwa, “Pembuktian berdasarkan aturan intinya merupakan proses untuk memilih substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa kemudian yang tidak terang menjadi fakta-fakta yang terang dalam hubungannya dengan kasus pidana.”
Sementara itu Yahya Harahap menjelaskan arti “Pembuktian ditinjau dari segi aturan program pidana, yakni ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran.”
Pengertian pembuktian |
Pembuktian merupakan duduk kasus yang memegang peranan penting dalam proses investigasi sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, bila kesalahan terdakwa sanggup dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh sebab itu para hakim harus berhati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan duduk kasus pembuktian. Kegiatan pembuktian intinya dipakai untuk memperoleh kebenaran.
Teori Pembuktian
Menurut Rusli Muhammad menyebutkan, “Ada beberapa macam teori pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim dalam melaksanakan investigasi di sidang pengadilan”. Teori ini mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dan menjadi ciri dari masing-masing teori tersebut”. Adapun teori tersebut sanggup diuraikan sebagai berikut :
a. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (Conviction intime)
Teori ini lebih menunjukkan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Tidak ada alat bukti yang dikenal selain alat bukti berupa keyakinan seorang hakim. Artinya, jikalau dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani, terdakwa yang diajukan kepadanya sanggup dijatuhkan putusan. Keyakinan hakim pada teori ini ialah memilih dan mengabaikan hal-hal lainnya jikalau sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut.
Konsekuensi dari pembuktian yang demikian tidak membuka kesempatan atau paling tidak menyulitkan bagi terdakwa untuk mengajukan pembelaan dengan menyodorkan bukti-bukti lainnya sebagai pendukung pembelaannya itu. Tidak mengakui dan menerimanya bukti-bukti lain sanggup berakibat putusan hakim menjadi tidak adil, bahkan menjadi absurd dimata masyarakat.
Menurut Andi Hamzah menyebutkan bahwa, “Sistem ini dianut oleh peradilan jury di Prancis. Praktek peradilan jury di Prancis menciptakan pertimbangan berdasarkan metode ini dan menjadikan banyaknya putusan bebas yang sangat aneh.”
b. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Conviction Rasionnee)
Teori ini tetap memakai keyakinan hakim, tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan (reasoning) yang rasional. Dalam teori ini hakim tidak lagi mempunyai kebebasan untuk memilih keyakinannya. Keyakinannya harus diikuti dengan alasan-alasan yang mendasari keyakinan itu. Alasan tersebut harus reasonable yakni berdasarkan alasan yang sanggup diterima oleh nalar pikiran. Menurut Andi Hamzah hakim sanggup memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.
Teori ini tidak menyebutkan adanya alat-alat bukti yang sanggup dipakai dalam memilih kesalahan terdakwa selain dari keyakinan hakim semata-mata. Dengan demikian, sanggup dikatakan bahwa teori ini hampir sama dengan teori pembuktian conviction intime yakni sama-sama memakai keyakinan hakim, perbedaannya terletak pada ada tidaknya alasan yang rasional yang mendasari keyakinan hakim. Hal ini mengambarkan teori pembuktian dengan alasan yang logis lebih maju bila dibandingkan teori keyakinan hakim.
c. Teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (Positief wettelijk bewijstheorie)
Pembuktian berdasarkan teori ini dilakukan dengan memakai alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan dalam undang-undang. Untuk memilih ada tidaknya kesalahan seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti tersebut di dalam undang-undang. Jika alat-alat bukti tersebut telah terpenuhi, hakim sudah cukup beralasan untuk menjatuhkan putusannya tanpa harus timbul keyakinan terlebih dahulu atas kebenaran alat-alat bukti yang ada.
Menurut D. Simons, sebagaimana dikutip Andi Hamzah (Makarao dan Suhasril 2010: 104) mengatakan, “Sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat berdasarkan peraturan-peraturan pembuktian yang keras.”
Keuntungan dari teori ini yaitu sanggup mempercepat penyelesaian kasus dan bagi kasus pidana yang ringan sanggup memudahkan hakim mengambil keputusan sebab resiko kekeliruan kemungkinan kecil sekali.
d. Teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewisjtheorie)
Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif ialah pembuktian yang selain memakai alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang, juga memakai keyakinan hakim. Sekalipun memakai keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan memakai alat-alat bukti yang tercantum dalam undang-undang dan keyakinan hakim maka teori pembuktian ini sering juga disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag).
Menurut Makarao dan Suhasril menyebutkan bahwa: Teori pembuktian ini menekankan kepada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah kemudian keyakinan hakim. Sistem atau teori ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi, hakim dihentikan menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannnya.
Inti dari teori pembuktian ini ialah bahwa hakim dalam memilih terbukti tidaknya perbuatan atau ada tidaknya kesalahan terdakwa harus berdasarkan alat-alat bukti yang tercantum dalam undang-undang dan terhadap alat-alat bukti tersebut hakim mempunyai keyakinan terhadapnya. Jika alat bukti tersebut terpenuhi, tetapi hakim tidakmemperoleh keyakinan terhadapnya, hakim tidak sanggup menjatuhkan putusan yang sifatnya pemidanaan. Sebaliknya, sekalipun hakim mempunyai keyakinan bahwa terdakwa ialah pelaku dan mempunyai kesalahan, tetapi jikalau tidak dilengkapi dengan alat-alat bukti yang sah, ia pun tidak sanggup menjatuhkan putusan pidana, tetapi putusan bebas.