Yang Dimaksud Pengertian Nilai Takwa
Nilai artinya harga, sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berkhasiat bagi kemanusiaan. Adapun ma’na takwa dari segi bahasa berasal dari b...
https://tutorialcarapintar.blogspot.com/2019/02/yang-dimaksud-pengertian-nilai-takwa.html
Nilai artinya harga, sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berkhasiat bagi kemanusiaan. Adapun ma’na takwa dari segi bahasa berasal dari bahasa arab, kata takwa berasal dari kata waqa, artinya ialah menjaga, waspada, terpelihara dan terlindungi.
Dalam al-Misbah al-Munir fi ghorib as-Syarhu al-Kabir li ar-Rifa’ I bahwa berdasarkan definisi syari’at, terjadi perbedaan pendapat dalam mengartikan makna takwa, takwa diartikan bahwa seorang hamba Allah takut atas murka Allah dan siksa-Nya, oleh sebab itu seorang hamba Allah dituntut untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya, "Imtitsalu awamirillahu wajtinabu nawahihi. Dalam penggunaannya, istilah takwa ini selanjutnya hanya dipergunakan untuk menyampaikan rasa takut dan kepatuhan terhadap Allah Swt. Orang yang bertakwa berarti orang yang senantiasa melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya.
Jadi, yang dimaksud nilai-nilai takwa ialah segala sesuatu, sifat-sifat (hal-hal) yang penting dalam melaksanakan sebuah acara dengan mengamalkan perintah-perintah Allah Swt. dan menjauhi segala larangan-Nya. Orang yang bertakwa akan patuh dan ta’at kepada Allah serta senantiasa akan terpelihara dalam kehidupannya. Dengan demikian, takwa merupakan keharusan bagi setiap orang. Takwa harus diterapkan di mana saja dan kapan saja seseorang bertugas dan berada dalam hidup dan kehidupan sehari-harinya.
Hasan Langgulung menyatakan, bahwa nilai-nilai takwa sanggup digolongkan ke dalam; (1) nilai-nilai perseorangan, (2) nilai-nilai kekeluargaan, (3) nilai-nilai sosial, (4) nilai-nilai kenegaraan, dan (5) nilai-nilai keagamaan ( dalam arti sempit).
Di dalam al-qur’an terdapat 256 kata takwa pada 251 ayat dalam banyak sekali hubungan dan variasi makna. Oleh sebab itu orang yang bertakwa ialah orang yang takut kepada Allah berdasarkan kesadaran: mengerjakan suruhan-Nya, tidak melanggar larangan-Nya, takut terjerumus ke dalam perbuatan dosa. Orang yang bertakwa ialah orang yang menjaga (membentengi) diri dari kejahatan; memelihara diri biar tidak melaksanakan perbuatan yang tidak diridhai Allah; bertanggung jawab mengenai sikap, tingkah laris dan perbuatannya, dan memenuhi kewajiban.
Pada prinsipnya ketakwaan seorang ialah apabila ia menyebabkan suatu pelindung antara dirinya dengan apa yang ia takuti. Maka ketakwaan seorang hamba kepada Rabbnya ialah apabila ia menyebabkan antara dirinya dan apa yang ia takuti dari Rabb (berupa kemarahan, siksa, murka) suatu penjagaan/pelindung darinya. Yaitu dengan menjalankan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Maka tampak jelas, bahwa hakikat takwa ialah sebagaimana yang disampaikan oleh Thalq bin Hubaib, " Takwa ialah engkau melaksanakan ketaatan kepada Allah berdasarkan nur (petunjuk) dari Allah sebab mengharapkan pahala dari-Nya. Dan engkau meninggalkan maksiat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah sebab takut akan siksa-Nya."
Sedangkan takwa secara lebih lengkapnya adalah, menjalankan segala kewajiban, menjauhi semua larangan dan syubhat (perkara yang samar), selanjutnya melaksanakan perkara-perkara sunnah (mandub), serta menjauhi perkara-perkara yang makruh (dibenci). Shahabat Abdullah Ibnu Mas’ud berkata dikala menafsirkan firman Allah surat Ali Imran ayat 102, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar- benar takwa kepada-Nya."Beliau menyampaikan "Hendaklah Dia (Allah) ditaati dan tidak dimaksiati, diingat serta tidak dilupakan, disyukuri dan tidak diingkari."(ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 9/92 dan al-Mustadrak 2/294).
Kedudukan takwa, merupakan hal yang terpenting dalam agama Islam dan kehidupan manusia. Pentingnya kedudukan takwa sanggup dipahami bahwa takwa ialah pokok (pangkal) segala pekerjaan muslim. Tentang ruang lingkup takwa, beberapa cendekiawan muslim telah mengemukakan pendapatnya, salah satu di antaranya ialah Prof. Hasan Langgulung dalam tulisannya yang berjudul Takwa Sebagai Sistem Nilai Dalam Islam (1986), ia menyampaikan bahwa; Takwa ialah kata kunci untuk memahami sistem nilai (sifat-sifat atau hal-hal yang penting dan berkhasiat bagi kemanusiaan) dalam Islam. Takwa merupakan kesimpulan semua nilai yang terdapat dalam dalam al-Qur’an; sedang nilai-nilai dalam al-Qur’an dinyatakan sebagai akhlak. Sebagai akhlak, takwa meliputi segala nilai yang dibutuhkan insan untuk keselamatan dan kebahagiaannya di dunia dan di darul abadi kelak.
Hasan Langgulung mengemukakan bahwa takwa perlu dibudayakan di dalam masyarakat. Oleh alhasil perlu upaya memasyaratkan takwa atau mentakwakan masyarakat melalui tiga tahap yaitu; sosialisasi, identifikasi, dan penghayatan.
Pada tahap pertama, sosialisai, anak (didik) diajar mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam perkataan takwa yang (hampir) sama dengan nilai budpekerti tersebut di atas.
Tahap kedua ialah identifikasi, pada tahap ini model (contoh) di antaranya mulai dari orang tua, guru, sobat sebaya, pemimpin-pemimpin masyarakat, ulama dan pemerintah akan dicontoh oleh anak (didik) dalam kehidupan sehari-harinya.
Pada tahap ketiga, tahap penghayatan. Pada tahap ketiga ini anak (didik) bukan lagi kagum pada tokoh-tokoh yang ada di sekitarnya yang membawa nilai-nilai itu, tetapi anak (didik) akan lebih menghayati dan mengamalkan nilai-nilai tersebut dengan indikator anak (didik) gemar dan merasa nikmat dalam mengerjakan nilai-nilai tersebut.
Dalam al-Misbah al-Munir fi ghorib as-Syarhu al-Kabir li ar-Rifa’ I bahwa berdasarkan definisi syari’at, terjadi perbedaan pendapat dalam mengartikan makna takwa, takwa diartikan bahwa seorang hamba Allah takut atas murka Allah dan siksa-Nya, oleh sebab itu seorang hamba Allah dituntut untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya, "Imtitsalu awamirillahu wajtinabu nawahihi. Dalam penggunaannya, istilah takwa ini selanjutnya hanya dipergunakan untuk menyampaikan rasa takut dan kepatuhan terhadap Allah Swt. Orang yang bertakwa berarti orang yang senantiasa melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya.
Jadi, yang dimaksud nilai-nilai takwa ialah segala sesuatu, sifat-sifat (hal-hal) yang penting dalam melaksanakan sebuah acara dengan mengamalkan perintah-perintah Allah Swt. dan menjauhi segala larangan-Nya. Orang yang bertakwa akan patuh dan ta’at kepada Allah serta senantiasa akan terpelihara dalam kehidupannya. Dengan demikian, takwa merupakan keharusan bagi setiap orang. Takwa harus diterapkan di mana saja dan kapan saja seseorang bertugas dan berada dalam hidup dan kehidupan sehari-harinya.
Hasan Langgulung menyatakan, bahwa nilai-nilai takwa sanggup digolongkan ke dalam; (1) nilai-nilai perseorangan, (2) nilai-nilai kekeluargaan, (3) nilai-nilai sosial, (4) nilai-nilai kenegaraan, dan (5) nilai-nilai keagamaan ( dalam arti sempit).
Di dalam al-qur’an terdapat 256 kata takwa pada 251 ayat dalam banyak sekali hubungan dan variasi makna. Oleh sebab itu orang yang bertakwa ialah orang yang takut kepada Allah berdasarkan kesadaran: mengerjakan suruhan-Nya, tidak melanggar larangan-Nya, takut terjerumus ke dalam perbuatan dosa. Orang yang bertakwa ialah orang yang menjaga (membentengi) diri dari kejahatan; memelihara diri biar tidak melaksanakan perbuatan yang tidak diridhai Allah; bertanggung jawab mengenai sikap, tingkah laris dan perbuatannya, dan memenuhi kewajiban.
Takwa |
Pada prinsipnya ketakwaan seorang ialah apabila ia menyebabkan suatu pelindung antara dirinya dengan apa yang ia takuti. Maka ketakwaan seorang hamba kepada Rabbnya ialah apabila ia menyebabkan antara dirinya dan apa yang ia takuti dari Rabb (berupa kemarahan, siksa, murka) suatu penjagaan/pelindung darinya. Yaitu dengan menjalankan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Maka tampak jelas, bahwa hakikat takwa ialah sebagaimana yang disampaikan oleh Thalq bin Hubaib, " Takwa ialah engkau melaksanakan ketaatan kepada Allah berdasarkan nur (petunjuk) dari Allah sebab mengharapkan pahala dari-Nya. Dan engkau meninggalkan maksiat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah sebab takut akan siksa-Nya."
Sedangkan takwa secara lebih lengkapnya adalah, menjalankan segala kewajiban, menjauhi semua larangan dan syubhat (perkara yang samar), selanjutnya melaksanakan perkara-perkara sunnah (mandub), serta menjauhi perkara-perkara yang makruh (dibenci). Shahabat Abdullah Ibnu Mas’ud berkata dikala menafsirkan firman Allah surat Ali Imran ayat 102, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar- benar takwa kepada-Nya."Beliau menyampaikan "Hendaklah Dia (Allah) ditaati dan tidak dimaksiati, diingat serta tidak dilupakan, disyukuri dan tidak diingkari."(ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 9/92 dan al-Mustadrak 2/294).
Kedudukan takwa, merupakan hal yang terpenting dalam agama Islam dan kehidupan manusia. Pentingnya kedudukan takwa sanggup dipahami bahwa takwa ialah pokok (pangkal) segala pekerjaan muslim. Tentang ruang lingkup takwa, beberapa cendekiawan muslim telah mengemukakan pendapatnya, salah satu di antaranya ialah Prof. Hasan Langgulung dalam tulisannya yang berjudul Takwa Sebagai Sistem Nilai Dalam Islam (1986), ia menyampaikan bahwa; Takwa ialah kata kunci untuk memahami sistem nilai (sifat-sifat atau hal-hal yang penting dan berkhasiat bagi kemanusiaan) dalam Islam. Takwa merupakan kesimpulan semua nilai yang terdapat dalam dalam al-Qur’an; sedang nilai-nilai dalam al-Qur’an dinyatakan sebagai akhlak. Sebagai akhlak, takwa meliputi segala nilai yang dibutuhkan insan untuk keselamatan dan kebahagiaannya di dunia dan di darul abadi kelak.
Hasan Langgulung mengemukakan bahwa takwa perlu dibudayakan di dalam masyarakat. Oleh alhasil perlu upaya memasyaratkan takwa atau mentakwakan masyarakat melalui tiga tahap yaitu; sosialisasi, identifikasi, dan penghayatan.
Pada tahap pertama, sosialisai, anak (didik) diajar mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam perkataan takwa yang (hampir) sama dengan nilai budpekerti tersebut di atas.
Tahap kedua ialah identifikasi, pada tahap ini model (contoh) di antaranya mulai dari orang tua, guru, sobat sebaya, pemimpin-pemimpin masyarakat, ulama dan pemerintah akan dicontoh oleh anak (didik) dalam kehidupan sehari-harinya.
Pada tahap ketiga, tahap penghayatan. Pada tahap ketiga ini anak (didik) bukan lagi kagum pada tokoh-tokoh yang ada di sekitarnya yang membawa nilai-nilai itu, tetapi anak (didik) akan lebih menghayati dan mengamalkan nilai-nilai tersebut dengan indikator anak (didik) gemar dan merasa nikmat dalam mengerjakan nilai-nilai tersebut.