Yang Dimaksud Pengertian Syukur
Pengertian Syukur – Arti syukur secara terminology berasal dari kata bahasa Arab, berasal dari kata “syakaro-yasykuru-syukron” yang berarti ...
https://tutorialcarapintar.blogspot.com/2019/02/yang-dimaksud-pengertian-syukur.html
Pengertian Syukur – Arti syukur secara terminology berasal dari kata bahasa Arab, berasal dari kata “syakaro-yasykuru-syukron” yang berarti berterima kasih kepada atau dari kata lain “syukron” yang berati kebanggaan atau ucapan terima kasih atau peryataan terima kasih. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia syukur mempunyai dua arti yang pertama, syukur berarti rasa berterima kasih kepada Allah dan yang kedua, syukur berarti untunglah atau merasa lega atau bahagia dan lain-lain.
Secara kebahasaan, asy-syukur berarti ucapan, perbuatan, perilaku terima kasih (al-hamd), dan pujian. Dalam ilmu tasawuf, istilah syukur berarti ucapan, sikap, dan perbuatan terima kasih kepada Allah SWT., dan akreditasi yang nrimo atas nikmat dan karunia yang diberikan-Nya.
Secara istilah syar‟i, arti syukur bertumpu pada tiga sendi, yaitu syukur dengan hati, lisan, dan anggota badan. Definisi syukur berdasarkan Al -Qur'an ialah ungkapan terima kasih atas nikmat-nikmat yang telah diberikan, dengan jalan memakai nikmat-nikmat tersebut sebagai sarana beribadah kepada Allah. Dalam konteks ini, menggali kebenaran ilmu pengetahuan dan agama termasuk ibadah, kalau diiringi niat untuk menemukan kebesaran Allah yang ada pada alam raya ini. Dengan kata lain, tujuan semua itu untuk menambah keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta.
Bersyukur mempunyai nilai yang sangat besar dan mengandung faedah yang banyak. Maka syukur dipertahankan dan diamalkan dengan sungguh -sungguh, dihentikan dilalaikan dan dianggap remeh. Sebab syukur merupakan satu permata yang tidak ternilai harganya, yang sangat jarang diberikan kepada manusia, lantaran kebanyakan insan tidak mau bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat yang telah diberikan-Nya. Padahal Allah sendiri memberi taufik dengan karunia dan rahmat-Nya.
Sedangkan salah satu kutipan lain menjelaskan bahwa syukur ialah citra dalam benak tetang nikmat dan menampakkannya ke permukaan. Lain hal dengan sebagaian ulama yang menjelaskan syukur berasal dari kata “syakara” yang berarti membuka yang dilawan dengan kata “kufur” yang berarti „‟menutup atau melupakan segala nikmat dan menutup-nutupinya. Hal ini berdasarkan ayat 7 surat Ibrahim sebagai berikut:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya kalau kau bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni‟mat) kepadamu, dan kalau kau mengingkari (ni‟mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Q.S. Ibrahim:7)
Al Maraghi dalam bukunya -Tafsir Al Maraghi- mengawali pembahasan ayat ini dengan perkataan “Dan ingatlah, hai bani Israil, dikala Allah memaklumkan janji-Nya kepada kalian dengan berfirman kalau kalian mensyukuri nikmat penyelamat dan lain-lain yang saya berikan kepada kalian, dengan menta‟ati Ku dalam segala perintah dan larangan, pasti Aku akan menambah nikmat yang telah Ku berikan kepada kalian”.
Beliau menganalogikan syukur sebagai berikut: “Bila anggota tubuh dilatih terus menerus untuk bekerja dan berbuat, maka sanggup dipastikan akan bertambah berpengaruh dan sehat. Tetapi apabila diberhentikan, maka akan melemahlah ia dan berkuranglah tenaganya. Sama halnya dengan syukur nikmat, bila kita terus menerus mensyukurinya, maka kita akan mencicipi hal yang lebih besar dan banyak. Tetapi bila kita berhenti -tidak bersyukur-, maka ia akan berkurang.
Intinya bahwa barang siapa bersyukur kepada Allah atas rezeki yang dilimpahkan kepadanya, maka Allah akan melapangkan rezekinya. Barang siapa bersyukur atas nikmat kesehatan, maka Allah akan menambah kesehatannya. Dan begitulah seterusnya.
Tidak jauh berbeda dengan Al Maraghi, Hamka di dalam bukunya -Tafsir Al Azhar- juga menjelaskan bahwa yang menjadi mukhatab dari ayat di atas adalah Bani Israil sehabis dibebaskan dari penindasan Fir‟aun. Kebebasan ini merupakan hal yang patut disyukuri. Dalam beryukur tetaplah berusaha guna mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Hamka menyebutkan bahwa kaum Bani Israil harus sanggup bangun kembali tanpa mengeluh atas nikmat yang berdasarkan mereka sangat sedikit dan terbatas. Bila mengeluh -ini kurang, itu tidak cukup- maka itulah yang disebut dengan kufur, melupakan nikmat Tuhan, tidak tau terimakasih.
Sementara Quraish Shihab dalam buku tafsirnya “Tafsir Al Misbah” menafsirkan ayat ini dengan memulai perkataan Musa kepada kaumnya: “Dan ingat jugalah nikmat Allah kepada kau semua tatkala Tuhan pemelihara dan penganugerah aneka kebajikan kepada kau memaklumkan: “Sesungguhnya Aku, yakni Allah bersumpah demi kekuasaan-Ku, kalau kau bersyukur pasti Aku tambah nikmat-nikmat-Ku kepada kau lantaran sungguh nikmat-Ku amat melimpah. Karena itu berharaplah yang banyak dari-Ku dengan mensyukurinya dan kalau kau kufur, yakni mengingkari nikmat-nikmat yang telah saya anugerahkan, dengan tidak memakai dan memanfaatkannya sebagaimana Aku kehendaki, maka akan Aku kurangi nikmat itu bahkan kau terancam menerima siksa-Ku sesengguhnya siksa-Ku dengan berkurang atau hilangnya nikmat itu, atau jatuhnya musibah atas kau akan kau rasakan amat pedih.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa kalau bersyukur maka pasti nikmat Allah akan ditambah, tetapi dikala berbicara perihal kufur nikmat, tidak ada penegasan ba hwa pasti siksa-Nya akan jatuh. Ayat ini hanya menegaskan bahwa siksa Allah amatlah pedih. Dengan demikian, kepingan simpulan ayat ini sanggup dipahami hanya sekedar ancaman. Di sisi lain, tidak tertutup kemungkinan keterhindaran dari siksa duniawi bagi yang mengkufuri nikmat Allah, bahkan boleh jadi nikmat tersebut ditambah-Nya dalam rangka mengulur kedurhakaan.
Hakikat syukur ialah menampakkan nikmat antara lain menggunakannya pada tempatnya dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut pemberinya dengan baik. Ini berarti setiap nikmat yang dianugerahkan Allah, menuntut perenungan, untuk apa ia dianugerahkan-Nya, kemudian memakai nikmat tersebut dengan tujuan penganugerahannya.
Serta dalam surat An-Naml ayat 40 yang dilakukan oleh nabi sulaiman as sebagai berikut:
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba saya apakah saya bersyukur atau mengingkari (akan ni‟mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya beliau bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa y ang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.(Q.S. An-Naml:40)
Apapun yang di pikirkan, di ucapkan, dan di lakukan, maka hasilnya akan kembali kepada insan sendiri. Demikian juga dalam duduk perkara syukur. Ketika bersyukur, maka hasilnya akan kembali kepada diri sendiri, menyerupai hanya dalam proses di dunia ini yang selalu dialektis, maka syukur pun bersifat dielektif. Maksud disini. Bersyukur, maka itu sebagai lantaran sehingga memperoleh kenikmatan berupa kenyamanan dan kententraman dalam batin,. Kententraman dan kenyamanan dalam batin merupakan akhir sekaligus lantaran yang akan membawa kepadaakibat selanjutnya. Akibat selanjutnya menjadi lantaran yang akan menyebabkan hasil selanjutnya. Inilah proses dielektif dalam syukur yang di dasari atas lantaran akibat.
Jadi hakikat syukur yang sesungguhnya ialah "menampakan nikmat dengan artian bahwa syukur ialah memakai pada kawasan dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya".
Secara kebahasaan, asy-syukur berarti ucapan, perbuatan, perilaku terima kasih (al-hamd), dan pujian. Dalam ilmu tasawuf, istilah syukur berarti ucapan, sikap, dan perbuatan terima kasih kepada Allah SWT., dan akreditasi yang nrimo atas nikmat dan karunia yang diberikan-Nya.
Secara istilah syar‟i, arti syukur bertumpu pada tiga sendi, yaitu syukur dengan hati, lisan, dan anggota badan. Definisi syukur berdasarkan Al -Qur'an ialah ungkapan terima kasih atas nikmat-nikmat yang telah diberikan, dengan jalan memakai nikmat-nikmat tersebut sebagai sarana beribadah kepada Allah. Dalam konteks ini, menggali kebenaran ilmu pengetahuan dan agama termasuk ibadah, kalau diiringi niat untuk menemukan kebesaran Allah yang ada pada alam raya ini. Dengan kata lain, tujuan semua itu untuk menambah keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta.
Bersyukur mempunyai nilai yang sangat besar dan mengandung faedah yang banyak. Maka syukur dipertahankan dan diamalkan dengan sungguh -sungguh, dihentikan dilalaikan dan dianggap remeh. Sebab syukur merupakan satu permata yang tidak ternilai harganya, yang sangat jarang diberikan kepada manusia, lantaran kebanyakan insan tidak mau bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat yang telah diberikan-Nya. Padahal Allah sendiri memberi taufik dengan karunia dan rahmat-Nya.
Syukur Alhamdulillah |
Sedangkan salah satu kutipan lain menjelaskan bahwa syukur ialah citra dalam benak tetang nikmat dan menampakkannya ke permukaan. Lain hal dengan sebagaian ulama yang menjelaskan syukur berasal dari kata “syakara” yang berarti membuka yang dilawan dengan kata “kufur” yang berarti „‟menutup atau melupakan segala nikmat dan menutup-nutupinya. Hal ini berdasarkan ayat 7 surat Ibrahim sebagai berikut:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya kalau kau bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni‟mat) kepadamu, dan kalau kau mengingkari (ni‟mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Q.S. Ibrahim:7)
Al Maraghi dalam bukunya -Tafsir Al Maraghi- mengawali pembahasan ayat ini dengan perkataan “Dan ingatlah, hai bani Israil, dikala Allah memaklumkan janji-Nya kepada kalian dengan berfirman kalau kalian mensyukuri nikmat penyelamat dan lain-lain yang saya berikan kepada kalian, dengan menta‟ati Ku dalam segala perintah dan larangan, pasti Aku akan menambah nikmat yang telah Ku berikan kepada kalian”.
Beliau menganalogikan syukur sebagai berikut: “Bila anggota tubuh dilatih terus menerus untuk bekerja dan berbuat, maka sanggup dipastikan akan bertambah berpengaruh dan sehat. Tetapi apabila diberhentikan, maka akan melemahlah ia dan berkuranglah tenaganya. Sama halnya dengan syukur nikmat, bila kita terus menerus mensyukurinya, maka kita akan mencicipi hal yang lebih besar dan banyak. Tetapi bila kita berhenti -tidak bersyukur-, maka ia akan berkurang.
Intinya bahwa barang siapa bersyukur kepada Allah atas rezeki yang dilimpahkan kepadanya, maka Allah akan melapangkan rezekinya. Barang siapa bersyukur atas nikmat kesehatan, maka Allah akan menambah kesehatannya. Dan begitulah seterusnya.
Tidak jauh berbeda dengan Al Maraghi, Hamka di dalam bukunya -Tafsir Al Azhar- juga menjelaskan bahwa yang menjadi mukhatab dari ayat di atas adalah Bani Israil sehabis dibebaskan dari penindasan Fir‟aun. Kebebasan ini merupakan hal yang patut disyukuri. Dalam beryukur tetaplah berusaha guna mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Hamka menyebutkan bahwa kaum Bani Israil harus sanggup bangun kembali tanpa mengeluh atas nikmat yang berdasarkan mereka sangat sedikit dan terbatas. Bila mengeluh -ini kurang, itu tidak cukup- maka itulah yang disebut dengan kufur, melupakan nikmat Tuhan, tidak tau terimakasih.
Sementara Quraish Shihab dalam buku tafsirnya “Tafsir Al Misbah” menafsirkan ayat ini dengan memulai perkataan Musa kepada kaumnya: “Dan ingat jugalah nikmat Allah kepada kau semua tatkala Tuhan pemelihara dan penganugerah aneka kebajikan kepada kau memaklumkan: “Sesungguhnya Aku, yakni Allah bersumpah demi kekuasaan-Ku, kalau kau bersyukur pasti Aku tambah nikmat-nikmat-Ku kepada kau lantaran sungguh nikmat-Ku amat melimpah. Karena itu berharaplah yang banyak dari-Ku dengan mensyukurinya dan kalau kau kufur, yakni mengingkari nikmat-nikmat yang telah saya anugerahkan, dengan tidak memakai dan memanfaatkannya sebagaimana Aku kehendaki, maka akan Aku kurangi nikmat itu bahkan kau terancam menerima siksa-Ku sesengguhnya siksa-Ku dengan berkurang atau hilangnya nikmat itu, atau jatuhnya musibah atas kau akan kau rasakan amat pedih.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa kalau bersyukur maka pasti nikmat Allah akan ditambah, tetapi dikala berbicara perihal kufur nikmat, tidak ada penegasan ba hwa pasti siksa-Nya akan jatuh. Ayat ini hanya menegaskan bahwa siksa Allah amatlah pedih. Dengan demikian, kepingan simpulan ayat ini sanggup dipahami hanya sekedar ancaman. Di sisi lain, tidak tertutup kemungkinan keterhindaran dari siksa duniawi bagi yang mengkufuri nikmat Allah, bahkan boleh jadi nikmat tersebut ditambah-Nya dalam rangka mengulur kedurhakaan.
Hakikat syukur ialah menampakkan nikmat antara lain menggunakannya pada tempatnya dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut pemberinya dengan baik. Ini berarti setiap nikmat yang dianugerahkan Allah, menuntut perenungan, untuk apa ia dianugerahkan-Nya, kemudian memakai nikmat tersebut dengan tujuan penganugerahannya.
Serta dalam surat An-Naml ayat 40 yang dilakukan oleh nabi sulaiman as sebagai berikut:
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba saya apakah saya bersyukur atau mengingkari (akan ni‟mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya beliau bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa y ang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.(Q.S. An-Naml:40)
Apapun yang di pikirkan, di ucapkan, dan di lakukan, maka hasilnya akan kembali kepada insan sendiri. Demikian juga dalam duduk perkara syukur. Ketika bersyukur, maka hasilnya akan kembali kepada diri sendiri, menyerupai hanya dalam proses di dunia ini yang selalu dialektis, maka syukur pun bersifat dielektif. Maksud disini. Bersyukur, maka itu sebagai lantaran sehingga memperoleh kenikmatan berupa kenyamanan dan kententraman dalam batin,. Kententraman dan kenyamanan dalam batin merupakan akhir sekaligus lantaran yang akan membawa kepadaakibat selanjutnya. Akibat selanjutnya menjadi lantaran yang akan menyebabkan hasil selanjutnya. Inilah proses dielektif dalam syukur yang di dasari atas lantaran akibat.
Jadi hakikat syukur yang sesungguhnya ialah "menampakan nikmat dengan artian bahwa syukur ialah memakai pada kawasan dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya".