Yang Dimaksud Pengertian Teologi Pembebasan Islam
Pengertian Teologi Pembebasan Islam - Ketika membicarakan Islam, Asghar selalu mengawali dengan asal-usul perkembangan awal Islam, Mekkah, ...
https://tutorialcarapintar.blogspot.com/2019/02/yang-dimaksud-pengertian-teologi.html
Pengertian Teologi Pembebasan Islam - Ketika membicarakan Islam, Asghar selalu mengawali dengan asal-usul perkembangan awal Islam, Mekkah, tempat kemunculan Islam, merupakan sentra transaksi komersial dan balasannya memunculkan adanya banyak sekali hegemoni, baik sosial, ekonomi maupun poli tik. Dari telaah kesejarahanya ia berkesimpulan Islam merupakan sebuah agama, dalam pengertian teknis maupun revolusi sosial, yang menghadapi tantangan struktur penindasan di luar dan di dalam masyarakat Arab.
Ia kelihatanya tak mau terjebak dalam pemahaman apologetis. Ia tak sependapat dengan Iqbal, bahwa Islam satu-satunya agama yang cocok dengan dunia modern, yang menyampaikan impian pembebasan. Bagaimanapun berdasarkan Asghar, agama-agama menyerupai Budha, Kristen, Yahudi dan Islam intinya yaitu sebuah agama protes. Agama, merupakan unsur paling subyektif terhadap kemapanan kekuasaan, baik yang dibangun di atas otoritas politik, ekonomi maupun agama, yang cenderung menindas dan eksploitatif. Tetapi, dari semua agama yang ada, Islam berdasarkan Asghar yaitu agama dengan sumber fatwa dan sejarah yang paling kaya dan kemungkinanuntuk berkembang menjadi sejarah teologis yang revolusioner dan membebaskan. Seperti agama-agama yang lain. Karakter pembebasan sebuah agama sebetulnya sangat ditentukan oleh aspek kesejarahannya.
Dengan memaparkan keterkaitan anatara konsep keagamaan yang kemudian berkembang dengan aspek kesejarahannya, Asghar hendak menyampaikan agama tidak lain sesungguhnya yaitu fenomena. Al-Qur’an sendiri, sebagai sumber agama Islam, selalu berangkat dari kesadaran sejarah, Al -Qur’an tidak mengabaikan determinasi sejarah. Karena pendekatannya bersifat kesejarahan tentu saja ia sangat memperhatikan aspek-aspek ruang dan waktu. Di samping sangat historis, pada hakikatnya al-Qur’an mengandung nilai-nilai trashistoris. Ia melihat bahwa agama harus dilihat dalam konteks sosiologis, sebagaimana juga harus dipandang dalam konteks filosofis. Itulah sebabnya, ia tidak setuju dengan para teolog masa pertengahan yang memusatkan kajian pada konsep akhirat. Baginya hal itu merupakan reduksi agama menjadi murni oleh spiritual yang tidak memiliki muatan kemasyarakatan. Pemahaman terhadap agama dengan tanpa mengikutsertakan kerangka sosiologis yaitu sesuatu yang amat naïf lantaran tidak ada sebuah konsep yang lahir dalam ruang hampa budaya.
Definisi teologi pembebasan islam, Sebagai rumusan pemikiran manusia, Teologi Islam harus dinamis dan kreatif. Manusia, berbeda dengan Iqbal yang menyebut sebagai co-creator, bagi Asghar, yaitu kolaborator Tuhan dalam proses kegiatan kreatif. Karenanya teologi Islam sebenarnya, sebagaimana dinyatakan al-Qur’an sendiri, tidak mengenal konsep campur tangan Tuhan yang sewenang-wenang. Pernyataan al-Qur’an dalam hal ini sangat terang “kamu tidak akan pernah menemukan perubahan apapun pada sunnah Allah”, bahkan pahala dan siksa. Tuhan bukan atas dasar tindakan atau kehendak Tuhan yang sewenang-wenang. Al-Qur’an menyatakan “tidak ada sesuatu pun bagi insan kecuali yang di upayakanya. Tentu saja taufiq Allah tidak ditolak tetapi hal itu tidaklah sewenang-wenang. Taufiq, yang tidak lain merupakan pertolongan, petunjuk dan bimbingan menuju kesuksesan, dalam pelaksanaanya bergantung pada dua hal, usaha seorang dan kesesuaian dengan sunnatullah yang telah di atur dan ditetapkan oleh Allah. Karena itu berdasarkan Asghar, dalam teologi Islam sesungguhnya merupakan potensi untuk bertindak yang diciptakan Tuhan, yang masih memiliki kemungkinan sanggup atau tidak sanggup di aktualisasikan, lantaran insan yaitu biro yang bebas.
Dalam kaitanya dengan keberadaan manusia, ada dua hal penting yang ditekankan oleh Islam. Pertama, Islam menekankan adanya kesatuan kemanusiaan sebagimana terungkap dalam al -Qur’an Qs. Al-Hujurat; 13. ayat ini dengan terang menegaskan bahwa Islam menentang seluruh pandangan dan konsep superioritas ras, suku, bangsa, dan keluarganya. Yang menjadiukuran yaitu kesalehan.bukanlah semata-mata kesalehan ritual, melainkan kesalehansosial keadilan. Kedua, ayat tersebut juga sanggup dilihat bahwa al-Qur’an menghendaki adanya keadilan dalam seluruh aspek. Sementara keadilan itu sendiri hanya sanggup direalisasikan jikalau ada kebebasan. Asghar menyimpulkan bahwa al-Qur’an telah menyampaikan sebuah teori yang disebut liberative violence (kekerasan yang membebaskan), sebuah teori yang mengedepankan usaha untuk menghilangkan penindasan demi pembebasan. Secara tegas ia menyatakan bahwa para penindas sering menganianya kaum lemah dan gampang memanfaatkannya demi mempertahankan kepentingan mereka. Oleh karenanya, mustahil membebaskan kaum teranianya tanpa perjuangan. Kesimpulan Asghar ini akan terlihat lebih terang jikalau dihubungkan dengan misi dasar nabi Muhammad, sesuatu yang menarik yaitu justru tidak terdapat kecaman terhadap penyembahan berhala. Yang ditekankan justru kecaman keserakahan dan ketidakadilan sosial. Dari empat puluh delapan surat pada pereode Makkah, dua belas surat yang diturunkan pada masa paling awal sama sekali tidak menyingung dan mempersoalkan penyembahan berhala. Surat al-Maun, yang turun pada urutan ke tuju, misalnya, secara pedas mengecam orang-orang yang sekalipun memiliki ketaatan religius, kesalehan ritual, tidak ambil peduli dengan kenyataan yang timpang, mereka dikatakan telah menghianati agama sendiri.
Tetapi semangat pembebasan dalam Islam telah tumpul. Salah satu sebabnya, menurut Asghar, yaitu bertahannya dogma-dogma teologis masa pertengahan yang puas diri dengan isu-isu metafisis dan spekulatif yang abstrak dan kosong, melupakan kepentingan rakyat dan dekat dengan elit kekuasaan. Dogma-dogma teologis inilah yang telah memberi legalitas kekuasaan yang menindas selama ini, baik yang tiba dari dunia Islam internal maupun eksternal. Dogma-dogma itu tidak saja menciptakan kaum muslim terhimpit kejamanya kekuasaan tetapi juga telah membuatnya kaku dan salah tingkah menghadapi zaman modern ini.
Itulah sebabnya Teologi Pembebasan Islam menjadi kebutuhan ketika ini. Theology ini yaitu teologi yang meletakkan tekanan berat pada kebebasan, persamaan dan keadilan distribusi dan menolak keras penindasan, penganiayaan dan eksploitasi insan oleh manusia. Nampak konsep kebebasan menjadi unsur dasar Teologi Pembebasan Islam. Pembebasan yaitu khas Islam. Kebebasan untuk menentukan dan kebebasan untuk keluar untuk menuju kondisi kehidupan yang lebiih baik dan juga untuk menghubungkan dari dengan kondisi yang berubah-ubah secara berarti. Teologi Pembebasan Islam menyampaikan kepada insan kebebasan ini untuk melampui situasi kekinian dalam rangka mengaktualisasikan potensi-potensi kehidupan yang gres dalam kerangka kerja sejarah. Sebaliknya, orang semata-mata akan tetap mempertahankan esensi-esensi. Secara signifikan Tillich menyebutkan: “Sejarah menandakan rangkaian potensi -potensi itu, namun dengan kualifikasi tertentu: ia menggambarkannya sebagaimana potensi-potensi itu tampil di bawah kondisi-kondisi keberadaan dan dalam ambiguitas kehidupan, laporan-laporan sejarah tidak akan melaporkan peristiwa-peristiwa yang berarti. Tanpa perwujudan unik dari potensi-potensi ini, ia tidak akan tampil dalam sejarah ia akan tetap esensi-esensi yang murni. Meski demikian, keduanya signifikan, lantaran di samping keduannya berada di atas sejarah dan unik, keduanya sekaligus juga berada dalam sejarah.”
Ia kelihatanya tak mau terjebak dalam pemahaman apologetis. Ia tak sependapat dengan Iqbal, bahwa Islam satu-satunya agama yang cocok dengan dunia modern, yang menyampaikan impian pembebasan. Bagaimanapun berdasarkan Asghar, agama-agama menyerupai Budha, Kristen, Yahudi dan Islam intinya yaitu sebuah agama protes. Agama, merupakan unsur paling subyektif terhadap kemapanan kekuasaan, baik yang dibangun di atas otoritas politik, ekonomi maupun agama, yang cenderung menindas dan eksploitatif. Tetapi, dari semua agama yang ada, Islam berdasarkan Asghar yaitu agama dengan sumber fatwa dan sejarah yang paling kaya dan kemungkinanuntuk berkembang menjadi sejarah teologis yang revolusioner dan membebaskan. Seperti agama-agama yang lain. Karakter pembebasan sebuah agama sebetulnya sangat ditentukan oleh aspek kesejarahannya.
Dengan memaparkan keterkaitan anatara konsep keagamaan yang kemudian berkembang dengan aspek kesejarahannya, Asghar hendak menyampaikan agama tidak lain sesungguhnya yaitu fenomena. Al-Qur’an sendiri, sebagai sumber agama Islam, selalu berangkat dari kesadaran sejarah, Al -Qur’an tidak mengabaikan determinasi sejarah. Karena pendekatannya bersifat kesejarahan tentu saja ia sangat memperhatikan aspek-aspek ruang dan waktu. Di samping sangat historis, pada hakikatnya al-Qur’an mengandung nilai-nilai trashistoris. Ia melihat bahwa agama harus dilihat dalam konteks sosiologis, sebagaimana juga harus dipandang dalam konteks filosofis. Itulah sebabnya, ia tidak setuju dengan para teolog masa pertengahan yang memusatkan kajian pada konsep akhirat. Baginya hal itu merupakan reduksi agama menjadi murni oleh spiritual yang tidak memiliki muatan kemasyarakatan. Pemahaman terhadap agama dengan tanpa mengikutsertakan kerangka sosiologis yaitu sesuatu yang amat naïf lantaran tidak ada sebuah konsep yang lahir dalam ruang hampa budaya.
 |
| Ilustrasi: "Islam" |
Definisi teologi pembebasan islam, Sebagai rumusan pemikiran manusia, Teologi Islam harus dinamis dan kreatif. Manusia, berbeda dengan Iqbal yang menyebut sebagai co-creator, bagi Asghar, yaitu kolaborator Tuhan dalam proses kegiatan kreatif. Karenanya teologi Islam sebenarnya, sebagaimana dinyatakan al-Qur’an sendiri, tidak mengenal konsep campur tangan Tuhan yang sewenang-wenang. Pernyataan al-Qur’an dalam hal ini sangat terang “kamu tidak akan pernah menemukan perubahan apapun pada sunnah Allah”, bahkan pahala dan siksa. Tuhan bukan atas dasar tindakan atau kehendak Tuhan yang sewenang-wenang. Al-Qur’an menyatakan “tidak ada sesuatu pun bagi insan kecuali yang di upayakanya. Tentu saja taufiq Allah tidak ditolak tetapi hal itu tidaklah sewenang-wenang. Taufiq, yang tidak lain merupakan pertolongan, petunjuk dan bimbingan menuju kesuksesan, dalam pelaksanaanya bergantung pada dua hal, usaha seorang dan kesesuaian dengan sunnatullah yang telah di atur dan ditetapkan oleh Allah. Karena itu berdasarkan Asghar, dalam teologi Islam sesungguhnya merupakan potensi untuk bertindak yang diciptakan Tuhan, yang masih memiliki kemungkinan sanggup atau tidak sanggup di aktualisasikan, lantaran insan yaitu biro yang bebas.
Dalam kaitanya dengan keberadaan manusia, ada dua hal penting yang ditekankan oleh Islam. Pertama, Islam menekankan adanya kesatuan kemanusiaan sebagimana terungkap dalam al -Qur’an Qs. Al-Hujurat; 13. ayat ini dengan terang menegaskan bahwa Islam menentang seluruh pandangan dan konsep superioritas ras, suku, bangsa, dan keluarganya. Yang menjadiukuran yaitu kesalehan.bukanlah semata-mata kesalehan ritual, melainkan kesalehansosial keadilan. Kedua, ayat tersebut juga sanggup dilihat bahwa al-Qur’an menghendaki adanya keadilan dalam seluruh aspek. Sementara keadilan itu sendiri hanya sanggup direalisasikan jikalau ada kebebasan. Asghar menyimpulkan bahwa al-Qur’an telah menyampaikan sebuah teori yang disebut liberative violence (kekerasan yang membebaskan), sebuah teori yang mengedepankan usaha untuk menghilangkan penindasan demi pembebasan. Secara tegas ia menyatakan bahwa para penindas sering menganianya kaum lemah dan gampang memanfaatkannya demi mempertahankan kepentingan mereka. Oleh karenanya, mustahil membebaskan kaum teranianya tanpa perjuangan. Kesimpulan Asghar ini akan terlihat lebih terang jikalau dihubungkan dengan misi dasar nabi Muhammad, sesuatu yang menarik yaitu justru tidak terdapat kecaman terhadap penyembahan berhala. Yang ditekankan justru kecaman keserakahan dan ketidakadilan sosial. Dari empat puluh delapan surat pada pereode Makkah, dua belas surat yang diturunkan pada masa paling awal sama sekali tidak menyingung dan mempersoalkan penyembahan berhala. Surat al-Maun, yang turun pada urutan ke tuju, misalnya, secara pedas mengecam orang-orang yang sekalipun memiliki ketaatan religius, kesalehan ritual, tidak ambil peduli dengan kenyataan yang timpang, mereka dikatakan telah menghianati agama sendiri.
Tetapi semangat pembebasan dalam Islam telah tumpul. Salah satu sebabnya, menurut Asghar, yaitu bertahannya dogma-dogma teologis masa pertengahan yang puas diri dengan isu-isu metafisis dan spekulatif yang abstrak dan kosong, melupakan kepentingan rakyat dan dekat dengan elit kekuasaan. Dogma-dogma teologis inilah yang telah memberi legalitas kekuasaan yang menindas selama ini, baik yang tiba dari dunia Islam internal maupun eksternal. Dogma-dogma itu tidak saja menciptakan kaum muslim terhimpit kejamanya kekuasaan tetapi juga telah membuatnya kaku dan salah tingkah menghadapi zaman modern ini.
Itulah sebabnya Teologi Pembebasan Islam menjadi kebutuhan ketika ini. Theology ini yaitu teologi yang meletakkan tekanan berat pada kebebasan, persamaan dan keadilan distribusi dan menolak keras penindasan, penganiayaan dan eksploitasi insan oleh manusia. Nampak konsep kebebasan menjadi unsur dasar Teologi Pembebasan Islam. Pembebasan yaitu khas Islam. Kebebasan untuk menentukan dan kebebasan untuk keluar untuk menuju kondisi kehidupan yang lebiih baik dan juga untuk menghubungkan dari dengan kondisi yang berubah-ubah secara berarti. Teologi Pembebasan Islam menyampaikan kepada insan kebebasan ini untuk melampui situasi kekinian dalam rangka mengaktualisasikan potensi-potensi kehidupan yang gres dalam kerangka kerja sejarah. Sebaliknya, orang semata-mata akan tetap mempertahankan esensi-esensi. Secara signifikan Tillich menyebutkan: “Sejarah menandakan rangkaian potensi -potensi itu, namun dengan kualifikasi tertentu: ia menggambarkannya sebagaimana potensi-potensi itu tampil di bawah kondisi-kondisi keberadaan dan dalam ambiguitas kehidupan, laporan-laporan sejarah tidak akan melaporkan peristiwa-peristiwa yang berarti. Tanpa perwujudan unik dari potensi-potensi ini, ia tidak akan tampil dalam sejarah ia akan tetap esensi-esensi yang murni. Meski demikian, keduanya signifikan, lantaran di samping keduannya berada di atas sejarah dan unik, keduanya sekaligus juga berada dalam sejarah.”
