Yang Dimaksud Pengertian Tindak Pidana Perkosaan
Pengertian Tindak Pidana Perkosaan - Wahid menyampaikan bahwa, “Perkosaan berasal dari kata latin “rapere” yang berarti mencuri, merampas ...

https://tutorialcarapintar.blogspot.com/2019/02/yang-dimaksud-pengertian-tindak-pidana.html
Perkosaan sadistis, artinya pada tipe ini seksualitas dan garang berpadu dalam bentuk yang merusak.
b. Angea rape
Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan murka yang tertahan.
c. Dononation rape
Yakni suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigihatas kekuatan korban
d. Seduktive rape
Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak hingga sejauh kesenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh alasannya ialah tanpa mempunyai rasa bersalah jikalau menyangkut seks.
e. Victim Precipitatied rape
Yakni perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
f. Exploitation rape
Perkosaan yang menandakan bahwa pada setiap kesempatan melaksanakan kekerabatan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil laba yang berlawanan dengan posisi perempuan yang bergantung padanya secara ekonomi dan sosial.
Karakteristik Tindak Pidana Perkosaan
Karakteristik utama (khusus) tindak pidana perkosaan berdasarkan Kadish yaitu bukan lisan agresivitas seksual tapi lisan seksual seksual agresivitas. Karakteristik umum tindak pidana perkosaan:
a. Agresivitas, merupakan sifat yang menempel pada setiap tindak pidana perkosaan.
b. Motivasi kekerasan lebih menonjol dibandingkan dengan motivasi seksualitas
c. Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak mengandung problem kontrol dan kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu.
d. Tindak pidana perkosaan sanggup dibedakan ke dalam tiga bentuk yaitu; anger rape, power rape, dan sadistis rape. Dan ini direduksi dari anger and violation, control and domination, erotis.
e. Ciri pelaku perkosaan: mispersepsi pelaku atas korban, mengalami pengalaman jelek khusunya dalam kekerabatan personal (cinta), terasing dalam pergaulan sosial, rendah diri, ada ketidakseimbangan emosional.
f. Korban perkosaan ialah partisipasif, terjadi alasannya ialah kelalaian (partisipasi) korban.
b. Angea rape
Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan murka yang tertahan.
c. Dononation rape
Yakni suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigihatas kekuatan korban
d. Seduktive rape
Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak hingga sejauh kesenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh alasannya ialah tanpa mempunyai rasa bersalah jikalau menyangkut seks.
e. Victim Precipitatied rape
Yakni perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
f. Exploitation rape
Perkosaan yang menandakan bahwa pada setiap kesempatan melaksanakan kekerabatan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil laba yang berlawanan dengan posisi perempuan yang bergantung padanya secara ekonomi dan sosial.
Karakteristik Tindak Pidana Perkosaan
Karakteristik utama (khusus) tindak pidana perkosaan berdasarkan Kadish yaitu bukan lisan agresivitas seksual tapi lisan seksual seksual agresivitas. Karakteristik umum tindak pidana perkosaan:
a. Agresivitas, merupakan sifat yang menempel pada setiap tindak pidana perkosaan.
b. Motivasi kekerasan lebih menonjol dibandingkan dengan motivasi seksualitas
c. Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak mengandung problem kontrol dan kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu.
d. Tindak pidana perkosaan sanggup dibedakan ke dalam tiga bentuk yaitu; anger rape, power rape, dan sadistis rape. Dan ini direduksi dari anger and violation, control and domination, erotis.
e. Ciri pelaku perkosaan: mispersepsi pelaku atas korban, mengalami pengalaman jelek khusunya dalam kekerabatan personal (cinta), terasing dalam pergaulan sosial, rendah diri, ada ketidakseimbangan emosional.
f. Korban perkosaan ialah partisipasif, terjadi alasannya ialah kelalaian (partisipasi) korban.
Korban perkosaan merupakan korban praktik kekerasan yang dilakukan pelaku. Pihak pemerkosa telah memakai bahaya dan kekerasan (paksaan) untuk mendudukan korban. Korban dibentuk takut sehingga tidak berani melawan, atau dibentuk tidak berdaya sehingga mau mengikuti kehendak pelaku. Kejahatan perkosaan sanggup dilakukan secara individual maupun kelompok, terutama yang direncanakan, didahului oleh suatu modus operandi. Modus operandi kejahatan perkosaan yaitu 1) Diancam dan dipaksa, 2) Dirayu, 3) Dibunuh, 4) Diberi Obat Bius, 5) Diberi obat perangsang, 6) Dibohongi atau diperdaya dan lainnya.
Modus operandi perkosaan sangat mungkin lalu hari sanggup berkembang dan sanggup bermodus operandi lain lagi. Karena, modus operandi kejahatan itu, selain terkait dengan posisi korban atau objek yang menjadi sasarannya, juga terkait dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang terjadi dan bergolak ditengah masyarakat. Artinya, ada saja jenis dan modus operandi gres di dunia kejahatan, alasannya ialah beradaptasi dengan perkembangan yang ada.
Menurut Muhammad Irfan menyampaikan bahwa, “Diberbagai kasus perkosaan sering terjadi pelaku selain melaksanakan penganiayaan seksual, juga dibumbui dengan banyak sekali tindak kejahatan lain, menyerupai perampokan harta benda dan bahkan kadang pembunuhan.”
Menurut Muhammad Irfan faktor penyebab perkosaan setidak-tidaknya ialah sebagai berikut:
a. Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai akhlak berpakaian yang menutupi aurat, yang sanggup merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat.
b. Gaya hidup atau mode pergaulan di antara laki-laki dengan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dihentikan dalam hubungannya dengan kaedah dan ahklak mengenai kekerabatan laki-laki dengan perempuan.
c. Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma keagaman yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagaman semakin terkikis dengan meniadakan tugas agama.
d. Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya banyak sekali sikap yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar aturan dan norma keagamaan kurang mendapat respon dam pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.
e. Putusan hakim yang terasa tidak adil, menyerupai putusan yang cukup ringan dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan sanggup mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya, ketika hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan hukuman aturan yang akan diterimanya.
f. Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan dan menuntut untuk dicarikan kompensasi pemuasnya
g. Keinginan pelaku untuk melaksanakan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan (keputusan) dan sikap korban yang dianggap menyakiti dan merugikan.
Modus operandi perkosaan sangat mungkin lalu hari sanggup berkembang dan sanggup bermodus operandi lain lagi. Karena, modus operandi kejahatan itu, selain terkait dengan posisi korban atau objek yang menjadi sasarannya, juga terkait dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang terjadi dan bergolak ditengah masyarakat. Artinya, ada saja jenis dan modus operandi gres di dunia kejahatan, alasannya ialah beradaptasi dengan perkembangan yang ada.
Menurut Muhammad Irfan menyampaikan bahwa, “Diberbagai kasus perkosaan sering terjadi pelaku selain melaksanakan penganiayaan seksual, juga dibumbui dengan banyak sekali tindak kejahatan lain, menyerupai perampokan harta benda dan bahkan kadang pembunuhan.”
Menurut Muhammad Irfan faktor penyebab perkosaan setidak-tidaknya ialah sebagai berikut:
a. Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai akhlak berpakaian yang menutupi aurat, yang sanggup merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat.
b. Gaya hidup atau mode pergaulan di antara laki-laki dengan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dihentikan dalam hubungannya dengan kaedah dan ahklak mengenai kekerabatan laki-laki dengan perempuan.
c. Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma keagaman yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagaman semakin terkikis dengan meniadakan tugas agama.
d. Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya banyak sekali sikap yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar aturan dan norma keagamaan kurang mendapat respon dam pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.
e. Putusan hakim yang terasa tidak adil, menyerupai putusan yang cukup ringan dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan sanggup mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya, ketika hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan hukuman aturan yang akan diterimanya.
f. Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan dan menuntut untuk dicarikan kompensasi pemuasnya
g. Keinginan pelaku untuk melaksanakan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan (keputusan) dan sikap korban yang dianggap menyakiti dan merugikan.