Yang Dimaksud Pengertian Wakaf Dan Dasar Hukumnya
Pengertian wakaf - Wakaf berasal dari bahasa arab dari kata waqafa dengan makna aslinya berhenti, membisu di tempat, atau menahan. Kata ...
https://tutorialcarapintar.blogspot.com/2019/02/yang-dimaksud-pengertian-wakaf-dan.html
Pengertian wakaf - Wakaf berasal dari bahasa arab dari kata waqafa dengan makna aslinya berhenti, membisu di tempat, atau menahan. Kata al-waqf ialah bentuk masdar (gerund)dari ungkapan waqfu al-syai’, yang berarti menahan sesuatu. Sebagai benda, kata wakaf semakna dengan kata al-habs. Kalimat : habistu ahbisu habsandan kalimat : ahbastu uhbisu ahbaasan, maksudnya adalah waqaftu (menahan).
Menurut istilah (hukum) para ulama berbeda pendapat wacana arti wakaf. Mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang bermacam-macam sesuai dengan perbedaan mahzab yang dianut. Ketika mendefinisikan wakaf, para ulama merujuk kepada Imam Mahzab, ibarat Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Imam-Imam lainnya. Adapun pendapat masing-masing mahzab tersebut wacana definisi wakaf berdasarkan istilah sebagai berikut:
a. Mahzab Syafi’i
Imam Nawawi mendefinisikan pengertian wakaf dengan “Menahan harta yang sanggup diambil keuntungannya bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada, dan dipakai keuntungannya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT”.
b. Mahzab Hanafi
Imam Syarkhasi mendefinisikan pengertian wakaf dengan “Menahan harta dari jangkauan kepemilikan orang lain (Habsul mamluk ‘an al-tamlik min al-ghair)”. Kata harta milik (mamluk) maksudnya memperlihatkan pembatasan bahwa perwakafan terhadap harta yang tidak bisa dianggap milik akan membatalkan wakaf. Sedangkan kalimat “dari jangkauan kepemilikan orang lain (an al-tamlik min al-ghair)” maksudnya harta yang akan diwakafkan itu dihentikan dimanfaatkan untuk kepentingan wakif, ibarat halnya untuk jual beli, hibah atau jaminan
c. Mahzab Malikiyah
Ibnu Arafah mendefinisikan pengertian wakaf “Memberikan manfaat sesuatu, pada batas waktu keberadaannya, bersamaan tetapnya wakaf dalam kepemilikan si pemiliknya meski hanya asumsi (pengandaian)”.
d. Ulama Zaidiyah
Pengarang Al-Syifa mendefinisikan pengertian wakaf sebagai “pemilikan khusus, dan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT”. Kalimat “pemilikan khusus” artinya bukan pengandaian, penyewaan, dipaksa, atau terpaksa. Sedangkan kalimat “dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT”, hal itu tidak disyaratkan pada sesuatu, selain pada wakaf.
Pendapat-pendapat dari para Imam Mahzab tersebut memperlihatkan rumusan pengertian wacana wakaf, sanggup diartikan bahwa pengertian wakaf ialah memindahkan hak kepemilikan suatu benda awet tertentu dari seseorang kepada orang lain (individu) atau organisasi Islam, untuk diambil keuntungannya dalam rangka ibadah untuk mencari ridha Allah SWT.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, pengertian wakaf yaitu perbuatan aturan wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum berdasarkan syariah.
Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, pengertian wakaf yaitu perbuatan aturan seseorang atau tubuh aturan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah hak milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan fatwa agama Islam.
Menurut Pasal 215 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengertian wakaf yaitu perbuatan aturan seseorang atau kelompok orang atau tubuh aturan yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan fatwa Islam.
Dasar Hukum Wakaf
Adapun dasar aturan wakaf sebagai berikut:
Ketentuan ini menegaskan bahwa soal-soal pertanahan (keagrariaan) yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan suci lainnya yang salah satunya ialah problem perwakafan tanah, di dalam sistem aturan agraria nasional mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya.
Unsur-unsur Wakaf
Sempurna atau tidaknya wakaf sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang ada dalam perbuatan wakaf. Masing-masing unsur harus saling menopang satu dengan lainnya. Keberadaan yang satu sangat memilih keberadaan yang lainnya. Adapun unsur-unsur atau rukun wakaf berdasarkan sebagian besar ulama (Mahzab Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah dan Hanabilah) adalah:
1. Ada orang yang berwakaf (Wakif)
Wakif ialah orang atau orang-orang ataupun tubuh aturan yang mewakafkan tanah milikya. Wakifharus memiliki kecakapan materiil. Artinya mereka telah remaja (baligh), berilmu sehat, tidak dibawah pengampuan, dan tidak lantaran terpaksa berbuat.
2. Ada harta yang diwakafkan (Mauquf)
Barang yang dipandang sah apabila merupakan harta bernilai, tahan usang dipergunakan dan hak milik wakifmurni. Harta wakaf sanggup berupa benda tetap maupun benda bergerak. Dalam hal barang wakaf ialah tanah, maka harus berstatus hak milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara. Dasar pertimbangannya ialah lantaran wakaf itu bersifat suci dan abadi, maka selain tanah itu berstatus hak milik juga harus higienis dari perselisihan, tanggungan, beban dan persengketaan.
3. Ada kawasan ke mana diwakafkan harta itu/ tujuan wakaf (Mauquf’alaih)
Tujuan wakaf dihentikan bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu bab dari ibadah, termasuk dalam kategori ibadah pada umumnya, sekurang-kurangnya merupakan hal-hal yang dibolehkan atau mubah berdasarkan nilai aturan Islam. Apabila ditujukan kepada kelompok orang-orang tertentu, harus disebutkan nama atau sifat maukuf’alaih secara terperinci semoga harta wakaf segera sanggup diterima sehabis wakaf diikrarkan. Demikian juga apabila diharapkan organisasi (badan hukum) yang mendapatkan harta wakaf dengan tujuan membangun tempat-tempat ibadah umum.
4. Ada akad/ pernyataan wakaf
Pernyataan wakaf sanggup dikemukakan dengan tulisan, ekspresi atau dengan suatu arahan yang sanggup dipahami maksudnya. Pernyataan dengan goresan pena atau ekspresi sanggup dipergunakan menyatakan wakaf oleh siapa saja, sedangkan cara arahan hanya bagi orang yang tidak sanggup mempergunakan dengan cara goresan pena atau lisan. Tentu saja pernyataan dengan arahan tersebut harus hingga benar-benar dimengerti pihak akseptor wakaf semoga sanggup menghindari persengketaan di kemudian hari. Pernyataan wakaf tersebut dituangkan dalam sebuah sertifikat yaitu Akta Ikrar Wakaf (AIW). Akta yang dibentuk oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) setelah wakifmengikrarkan penyerahan tanah wakafnya, disamping ikrar secara lisan. Akta tersebut sah berdasarkan agama Islam dan merupakan materi untuk registrasi tanah wakaf di kantor pertanahan. Sebagaimana pengalihan hak atas tanah pada umumnya yang aktanya dibentuk oleh ketentuan Akta Ikrar Wakaf (AIW) itu dimaksudkan untuk memenuhi asas publisitas dan asas spesialitas.
5. Ada pengelola wakaf (Nazhir)
Pengelola wakaf ialah orang, organisasi atau tubuh aturan yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sebaik-baiknya sesuai dengan wujud dan tujuannya. Siapapun sanggup menjadi nazhir asalkan tidak terhalang melaksanakan perbuatan hukum. Bila nazhiritu ialah perorangan, maka harus memenuhi syarat antara lain beragama Islam, dewasa, sanggup mendapatkan amanah (amanah) serta bisa secara jasmani dan rohani untuk menyelenggarakan segala urusan yang berkaitan dengan harta wakaf.
6. Ada jangka waktu
Mengenai syarat jangka waktu masih banyak kalangan yang mempertentangkan. Pendapat pertama menyatakan bahwa wakaf haruslah bersifat permanen dan merupakan pendapat yang didukung oleh lebih banyak didominasi ulama. Bahwa wakaf harus diberikan untuk selamanya (permanen) dan harus disertakan statemen yang terperinci untuk itu. Pendapat kedua menyatakan bahwa wakaf boleh bersifat sementara dan sah baik dalam jangka waktu yang panjang maupun pendek.
Di Indonesia, syarat permanen dicantumkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 215 KHI dinyatakan bahwa wakaf ialah perbuatan aturan seseorang atau kelompok orang atau tubuh aturan yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan fatwa Islam. Makara berdasarkan pasal tersebut, wakaf sementara ialah tidak sah.
Namun syarat itu kemudian berubah sehabis keluarnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tersebut dinyatakan bahwa wakaf ialah perbuatan hukum wakifuntuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum berdasarkan syariah. Jadi, berdasarkan ketentuan ini wakaf sementara juga diperbolehkan asalkan sesuai dengan kepentingannya.
Syarat-syarat Wakaf
Untuk sahnya suatu wakaf diharapkan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Wakaf harus dilakukan secara tunai, tanpa digantungkan kepada akan terjadinya sesuatu kejadian di masa yang akan datang, lantaran pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik seketika setelah wakifmenyatakan berwakaf. Selain itu berwakaf sanggup diartikan memindahkan hak milik pada waktu terjadi wakaf itu.
2. Tujuan wakaf harus jelas, maksudnya hendaklah wakaf itu disebutkan dengan terang kepada siapa diwakafkan. Apabila seseorang mewakafkan harta miliknya tanpa menyebutkan tujuan sama sekali, maka wakaf dipandang tidak sah.
3. Wakaf merupakan hal yang harus dilaksanakan tanpa syarat boleh khiyar. Artinya dihentikan membatalkan atau melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan lantaran pernyataan wakaf berlaku tunai dan untuk selamanya.
Selain syarat-syarat umum tersebut diatas, berdasarkan aturan Islam ditentukan pula syarat khusus yang harus dipenuhi oleh orang yang memperlihatkan wakaf dan harta yang diwakafkan, syarat itu adalah:
1. Ada yang berhak mendapatkan wakaf itu bersifat perseorangan.
2. Adapula yang berhak mendapatkan wakaf bersifat kolektif/umum, ibarat badan-badan sosial Islam.
Macam-macam Wakaf
Wakaf pada prinsipnya sanggup dibagi menjadi dua bagian, yaitu wakaf Khairi dan wakaf Ahli.
1. Wakaf Ahli
Wakaf Ahli atau wakaf keluarga ialah wakaf yang ditujukan pada orang-orang tertentu seorang atau lebih, baik keluarga wakif atau bukan. Wakaf mahir ini sanggup dijumpai contohnya wakaf kepada kyai yang sehari-hari bertugas mengajar santri-santrinya di Pondok Pesantren. Atas dasar kepentingan Islam secara umum, maka kyai sebagai penanggung jawab memperoleh wakaf tanah pertanian dari seseorang, kitab-kitab untuk seseorang yang bisa menggunakannya, kemudian diteruskan kepada cucu-cucunya dan seterusnya.
Wakaf semacam ini dipandang sah, dan yang berhak menikmati harta wakaf itu ialah mereka yang telah ditunjuk dalam pernyataan wakaf tersebut. Persoalan yang mungkin timbul ialah apabila anak keturunan wakif tidak ada lagi yang bisa menjadi kyai atau tidak ada yang bisa mempergunakan kitab-kitab wakaf tersebut.
2. Wakaf Khairi
Wakaf Khairi ialah wakaf yang semenjak semula ditujukan untuk kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu. Definisi ini berdasarkan hadis Umar bin Khattab wacana wakaf. Hadis tersebut menunjukan bahwa wakaf Umar tersebut untuk kepentingan umum, meskipun disebutkan juga tujuan untuk anak kerabatnya. Oleh lantaran itu titik tekan semoga sanak kerabat Umar bin Khattab jangan hingga tidak turut serta menikmati hasil harta wakaf dipandang sudah dicakup oleh kata “kepentingan umum”. Hal ini lantaran makna “untuk kepentingan umum” itu bantu-membantu sudah meliputi siapapun yang termasuk dalam golongan fakir miskin, baik itu keluarga Umar bin Khattab ataupun bukan sanak kerabatnya.
Menurut istilah (hukum) para ulama berbeda pendapat wacana arti wakaf. Mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang bermacam-macam sesuai dengan perbedaan mahzab yang dianut. Ketika mendefinisikan wakaf, para ulama merujuk kepada Imam Mahzab, ibarat Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Imam-Imam lainnya. Adapun pendapat masing-masing mahzab tersebut wacana definisi wakaf berdasarkan istilah sebagai berikut:
a. Mahzab Syafi’i
Imam Nawawi mendefinisikan pengertian wakaf dengan “Menahan harta yang sanggup diambil keuntungannya bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada, dan dipakai keuntungannya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT”.
b. Mahzab Hanafi
Imam Syarkhasi mendefinisikan pengertian wakaf dengan “Menahan harta dari jangkauan kepemilikan orang lain (Habsul mamluk ‘an al-tamlik min al-ghair)”. Kata harta milik (mamluk) maksudnya memperlihatkan pembatasan bahwa perwakafan terhadap harta yang tidak bisa dianggap milik akan membatalkan wakaf. Sedangkan kalimat “dari jangkauan kepemilikan orang lain (an al-tamlik min al-ghair)” maksudnya harta yang akan diwakafkan itu dihentikan dimanfaatkan untuk kepentingan wakif, ibarat halnya untuk jual beli, hibah atau jaminan
c. Mahzab Malikiyah
Ibnu Arafah mendefinisikan pengertian wakaf “Memberikan manfaat sesuatu, pada batas waktu keberadaannya, bersamaan tetapnya wakaf dalam kepemilikan si pemiliknya meski hanya asumsi (pengandaian)”.
d. Ulama Zaidiyah
Pengarang Al-Syifa mendefinisikan pengertian wakaf sebagai “pemilikan khusus, dan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT”. Kalimat “pemilikan khusus” artinya bukan pengandaian, penyewaan, dipaksa, atau terpaksa. Sedangkan kalimat “dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT”, hal itu tidak disyaratkan pada sesuatu, selain pada wakaf.
Pengertian Wakaf |
Pendapat-pendapat dari para Imam Mahzab tersebut memperlihatkan rumusan pengertian wacana wakaf, sanggup diartikan bahwa pengertian wakaf ialah memindahkan hak kepemilikan suatu benda awet tertentu dari seseorang kepada orang lain (individu) atau organisasi Islam, untuk diambil keuntungannya dalam rangka ibadah untuk mencari ridha Allah SWT.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, pengertian wakaf yaitu perbuatan aturan wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum berdasarkan syariah.
Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, pengertian wakaf yaitu perbuatan aturan seseorang atau tubuh aturan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah hak milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan fatwa agama Islam.
Menurut Pasal 215 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengertian wakaf yaitu perbuatan aturan seseorang atau kelompok orang atau tubuh aturan yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan fatwa Islam.
Dasar Hukum Wakaf
Adapun dasar aturan wakaf sebagai berikut:
- Al Qur’an Surat Al-Hajj ayat 77, memerintah kepada orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya semoga tunduk kepada Allah SWT dengan bersujud dan beribadah kepada-Nya dengan apapun yang sanggup dipakai untuk menghambakan diri kepada-Nya. Di samping itu, mereka juga diperintah untuk berbuat kebaikan semoga memperoleh laba dan menerima pahala serta keridaan-Nya. Salah satu perbuatan baik yang diperintahkan dalam ayat tersebut sanggup dilakukan dengan melalui wakaf lantaran jikalau seseorang mewakafkan harta benda yang dimilikinya, berarti ia telah melaksanakan kebaikan tersebut dan pahalanya terus mengalir selama harta benda wakaf tersebut bermanfaat.
- Al Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 267, memilih wacana jenis harta yang akan diinfakkan, yakni hendaknya harta tersebut dari jenis yang paling baik dan disenangi oleh pemberi. Infak dengan harta yang paling baik tersebut, di antaranya sanggup dilakukan oleh seseorang dengan mewakafkan tanah yang dimilikinya, ibarat wakaf tanah yang dilakukan oleh Umar bin Khattab.
- Al Qur`an Surat Ali Imran 92, Allah SWT tetapkan tanda keimanan dan indikasi yang benar ialah beramal di jalan Allah SWT dengan harta yang disayanginya secara nrimo dan disertai niat yang baik. Bahkan, Allah SWT lebih tegas menyatakan kau tidak akan hingga kepada kebaikan yang diridhai Allah SWT, ibarat lazimnya orang-orang yang taat kepada Allah SWT dan mendapatkan ridha-Nya serta mendapatkan kemurahan rahmat sehingga memperoleh pahala dan masuk nirwana serta dihindarkan siksaan Allah SWT dari diri mereka, kecuali kau menginfakkan apa yang kau senangi, yakni harta yang kalian muliakan. Sebagian mahir mendefinisikan infak ialah pertolongan harta tanpa kompensasi apapun. Pelaksanaan infak yang dianjurkan dalam ayat ini salah satunya sanggup dilakukan dengan melalui wakaf, baik berupa benda tidak bergerak atau benda bergerak, ibarat uang, mobil, dan lain-lain.
- Hadis riwayat Bukhari Muslim dari Ibnu Umar r.a, menyampaikan bahwa Umar r.a tiba kepada Nabi Muhammad SAW untuk minta petunjuk wacana tanah yang diperolehnya di Khaibar, sebaiknya dipergunakan untuk apa, oleh Rasulullah SAW, dinasehatkan : “Kalau engkau mau, tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya”. Umar mengikuti nasehat Rasulullah SAW tersebut, kemudian disedekahkan (diwakafkan), dengan syarat pokoknya dihentikan dijual, dihentikan dihibahkan dan dihentikan diwariskan.
- Hadis riwayat An-Nasa’i dan Ibnu Majah : Bahwa Umar r.a telah berkata kepada Nabi SAW : “Sesungguhnya saya memiliki seratus saham di Khaibar, belum pernah saya memiliki harta yang lebih saya cintai daripada itu, sesungguhnya saya bermaksud hendak menyedekahkannya”, Jawab Nabi SAW, “Engkau tahan pokoknya(asalnya) dan sedekahkan buahnya”.
- Hadis riwayat Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, dan Abu Daud dari debu Hurairah r.a. mengatakan, “Apabila mati anak adam, terputuslah segala amalnya kecuali tiga macam amalan, yaitu sedekah yang mengalir terus-menerus (wakaf), ilmu yang bermanfaat yang diamalkan, dan anak yang sholeh selalu mendoakan baik untuk kedua orang tuanya” .
- Pasal 49 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa : Hak milik tanah Badan-badan Keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk perjuangan dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. Untuk perwakafan tanah, lantaran kekhususannya di mata aturan agraria nasional maka kedudukan dan praktek pelaksanaannya diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49 ayat (3) yang berbunyi : Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan ini menegaskan bahwa soal-soal pertanahan (keagrariaan) yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan suci lainnya yang salah satunya ialah problem perwakafan tanah, di dalam sistem aturan agraria nasional mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya.
Unsur-unsur Wakaf
Sempurna atau tidaknya wakaf sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang ada dalam perbuatan wakaf. Masing-masing unsur harus saling menopang satu dengan lainnya. Keberadaan yang satu sangat memilih keberadaan yang lainnya. Adapun unsur-unsur atau rukun wakaf berdasarkan sebagian besar ulama (Mahzab Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah dan Hanabilah) adalah:
1. Ada orang yang berwakaf (Wakif)
Wakif ialah orang atau orang-orang ataupun tubuh aturan yang mewakafkan tanah milikya. Wakifharus memiliki kecakapan materiil. Artinya mereka telah remaja (baligh), berilmu sehat, tidak dibawah pengampuan, dan tidak lantaran terpaksa berbuat.
2. Ada harta yang diwakafkan (Mauquf)
Barang yang dipandang sah apabila merupakan harta bernilai, tahan usang dipergunakan dan hak milik wakifmurni. Harta wakaf sanggup berupa benda tetap maupun benda bergerak. Dalam hal barang wakaf ialah tanah, maka harus berstatus hak milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara. Dasar pertimbangannya ialah lantaran wakaf itu bersifat suci dan abadi, maka selain tanah itu berstatus hak milik juga harus higienis dari perselisihan, tanggungan, beban dan persengketaan.
3. Ada kawasan ke mana diwakafkan harta itu/ tujuan wakaf (Mauquf’alaih)
Tujuan wakaf dihentikan bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu bab dari ibadah, termasuk dalam kategori ibadah pada umumnya, sekurang-kurangnya merupakan hal-hal yang dibolehkan atau mubah berdasarkan nilai aturan Islam. Apabila ditujukan kepada kelompok orang-orang tertentu, harus disebutkan nama atau sifat maukuf’alaih secara terperinci semoga harta wakaf segera sanggup diterima sehabis wakaf diikrarkan. Demikian juga apabila diharapkan organisasi (badan hukum) yang mendapatkan harta wakaf dengan tujuan membangun tempat-tempat ibadah umum.
4. Ada akad/ pernyataan wakaf
Pernyataan wakaf sanggup dikemukakan dengan tulisan, ekspresi atau dengan suatu arahan yang sanggup dipahami maksudnya. Pernyataan dengan goresan pena atau ekspresi sanggup dipergunakan menyatakan wakaf oleh siapa saja, sedangkan cara arahan hanya bagi orang yang tidak sanggup mempergunakan dengan cara goresan pena atau lisan. Tentu saja pernyataan dengan arahan tersebut harus hingga benar-benar dimengerti pihak akseptor wakaf semoga sanggup menghindari persengketaan di kemudian hari. Pernyataan wakaf tersebut dituangkan dalam sebuah sertifikat yaitu Akta Ikrar Wakaf (AIW). Akta yang dibentuk oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) setelah wakifmengikrarkan penyerahan tanah wakafnya, disamping ikrar secara lisan. Akta tersebut sah berdasarkan agama Islam dan merupakan materi untuk registrasi tanah wakaf di kantor pertanahan. Sebagaimana pengalihan hak atas tanah pada umumnya yang aktanya dibentuk oleh ketentuan Akta Ikrar Wakaf (AIW) itu dimaksudkan untuk memenuhi asas publisitas dan asas spesialitas.
5. Ada pengelola wakaf (Nazhir)
Pengelola wakaf ialah orang, organisasi atau tubuh aturan yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sebaik-baiknya sesuai dengan wujud dan tujuannya. Siapapun sanggup menjadi nazhir asalkan tidak terhalang melaksanakan perbuatan hukum. Bila nazhiritu ialah perorangan, maka harus memenuhi syarat antara lain beragama Islam, dewasa, sanggup mendapatkan amanah (amanah) serta bisa secara jasmani dan rohani untuk menyelenggarakan segala urusan yang berkaitan dengan harta wakaf.
6. Ada jangka waktu
Mengenai syarat jangka waktu masih banyak kalangan yang mempertentangkan. Pendapat pertama menyatakan bahwa wakaf haruslah bersifat permanen dan merupakan pendapat yang didukung oleh lebih banyak didominasi ulama. Bahwa wakaf harus diberikan untuk selamanya (permanen) dan harus disertakan statemen yang terperinci untuk itu. Pendapat kedua menyatakan bahwa wakaf boleh bersifat sementara dan sah baik dalam jangka waktu yang panjang maupun pendek.
Di Indonesia, syarat permanen dicantumkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 215 KHI dinyatakan bahwa wakaf ialah perbuatan aturan seseorang atau kelompok orang atau tubuh aturan yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan fatwa Islam. Makara berdasarkan pasal tersebut, wakaf sementara ialah tidak sah.
Namun syarat itu kemudian berubah sehabis keluarnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tersebut dinyatakan bahwa wakaf ialah perbuatan hukum wakifuntuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum berdasarkan syariah. Jadi, berdasarkan ketentuan ini wakaf sementara juga diperbolehkan asalkan sesuai dengan kepentingannya.
Syarat-syarat Wakaf
Untuk sahnya suatu wakaf diharapkan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Wakaf harus dilakukan secara tunai, tanpa digantungkan kepada akan terjadinya sesuatu kejadian di masa yang akan datang, lantaran pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik seketika setelah wakifmenyatakan berwakaf. Selain itu berwakaf sanggup diartikan memindahkan hak milik pada waktu terjadi wakaf itu.
2. Tujuan wakaf harus jelas, maksudnya hendaklah wakaf itu disebutkan dengan terang kepada siapa diwakafkan. Apabila seseorang mewakafkan harta miliknya tanpa menyebutkan tujuan sama sekali, maka wakaf dipandang tidak sah.
3. Wakaf merupakan hal yang harus dilaksanakan tanpa syarat boleh khiyar. Artinya dihentikan membatalkan atau melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan lantaran pernyataan wakaf berlaku tunai dan untuk selamanya.
Selain syarat-syarat umum tersebut diatas, berdasarkan aturan Islam ditentukan pula syarat khusus yang harus dipenuhi oleh orang yang memperlihatkan wakaf dan harta yang diwakafkan, syarat itu adalah:
1. Ada yang berhak mendapatkan wakaf itu bersifat perseorangan.
2. Adapula yang berhak mendapatkan wakaf bersifat kolektif/umum, ibarat badan-badan sosial Islam.
Macam-macam Wakaf
Wakaf pada prinsipnya sanggup dibagi menjadi dua bagian, yaitu wakaf Khairi dan wakaf Ahli.
1. Wakaf Ahli
Wakaf Ahli atau wakaf keluarga ialah wakaf yang ditujukan pada orang-orang tertentu seorang atau lebih, baik keluarga wakif atau bukan. Wakaf mahir ini sanggup dijumpai contohnya wakaf kepada kyai yang sehari-hari bertugas mengajar santri-santrinya di Pondok Pesantren. Atas dasar kepentingan Islam secara umum, maka kyai sebagai penanggung jawab memperoleh wakaf tanah pertanian dari seseorang, kitab-kitab untuk seseorang yang bisa menggunakannya, kemudian diteruskan kepada cucu-cucunya dan seterusnya.
Wakaf semacam ini dipandang sah, dan yang berhak menikmati harta wakaf itu ialah mereka yang telah ditunjuk dalam pernyataan wakaf tersebut. Persoalan yang mungkin timbul ialah apabila anak keturunan wakif tidak ada lagi yang bisa menjadi kyai atau tidak ada yang bisa mempergunakan kitab-kitab wakaf tersebut.
2. Wakaf Khairi
Wakaf Khairi ialah wakaf yang semenjak semula ditujukan untuk kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu. Definisi ini berdasarkan hadis Umar bin Khattab wacana wakaf. Hadis tersebut menunjukan bahwa wakaf Umar tersebut untuk kepentingan umum, meskipun disebutkan juga tujuan untuk anak kerabatnya. Oleh lantaran itu titik tekan semoga sanak kerabat Umar bin Khattab jangan hingga tidak turut serta menikmati hasil harta wakaf dipandang sudah dicakup oleh kata “kepentingan umum”. Hal ini lantaran makna “untuk kepentingan umum” itu bantu-membantu sudah meliputi siapapun yang termasuk dalam golongan fakir miskin, baik itu keluarga Umar bin Khattab ataupun bukan sanak kerabatnya.